ITB........... dan Batu Pijakan



ITB........... dan Batu Pijakan

“Allah sedang menjadikannya (ITB) sebagai pijakanku untuk berlari di Tanah Jawa (Purwokerto)”
                Hari-hari yang sulit menapaki ujian akhir nasional (UAN) ketika SMA, dan terasa begitu sempit untuk remaja sepertiku. Dua bulan sebelumnya, hampir ku tak percaya ketika handphone ku mulai berdering dan terdengar suara yang tak asing. “Anggi, kamu dimana selamat ya?, lusa ketemu bapak ya di sekolah ada surat rekomendasi buat kamu”, ucap sang penelpon. Bapak Heru, seorang guru Biologi di SMA ku yang menelpon hari itu dan ku selalu terkesima mendengar pelajarannya. Kini, aku berada di sebuah ruangan untuk menanti verifikasi berkas di SMA N1 Sumber. Sekolah idaman bagi setiap siswa, jauh berbeda dengan sekolahku. Meskipun, aku tetap bangga dengan sekolahku dan sejarah prestasi sekolahku. Tak lama kemudian proses verifikasi pun dimulai, dokumen-dokumen ku serahkan pada petugas penyedia beasiswa Pelopor ITB.
                Selang dua minggu setelah verifikasi selesai, surat rekomendasi dan surat dispensasi pun ku tanda tangani. Tinta mengalir begitu deras pada ballpoint Box yang kugunakan untuk tanda tangan. Hal ini, sebagai pintu awal aku menginjakkan kaki di Kota Bandung, Kota seribu bunga konon katanya. Pagi buta, keesokannya dengan barang-barang yang kubawa aku berpamitan pada ayah dan ibu. Tak terasa, air mata mengalir pada kepergianku dan inilah pertama kalinya pula aku tinggal jauh selama 3 pekan lamanya. Walaupun, aku sering meninggalkan rumah bahkan hingga sepekan untuk kegiatan Pramuka dan Pecinta alam, namun inilah waktu yang paling lama.
...............................................
                Bandung, Paris van Java. Begitulah kompeni Belanda menyebutnya hingga sekarang. Persib, Stadion, Gedung Sate, dan tentunya Institut Teknologi Bandung (ITB) menjadi aroma tersendiri selain bunga-bunga Canna yang berjejer di jalanan Caheum ke arah Ledeng. Bus pun berhenti pada sebuah bangunan nan megah lagi luas melebihi SMA Sumber yang ku lihat sebelumnya. Pintu gerbangnya memang seluas pintu gerbang SMA ku, tapi ornamen tua nya mengalahkan sejarah SMA-ku. Terpampang didepannnya, sebuah patung berkepala gajah dan memegang berbagai peralatan di tangannya. Sambil mengamati detail bangunan tersebut, kubuka buku panduan biru berjudul “Panduan Masuk Institut Teknologi Bandung” dan ku tahu bahwa patung itu ialah Patung Ganesha dan simbol almamater perguruan tinggi tersohor di Indonesia.
                Awal yang baik, tapi sungguh kesempatan yang luar biasa saat mengunjungi masjid SALMAN ITB. Nampak, sekali masjid dengan khas arsitektur terbaik negeri ini dan tak salah masjid ini menjadi saksi pula berdirinya Institut teknik. Lantai kayu yang di-ternis  sangat bersahaja dan tak hentinya ku bersujud syukur pada Allah. Inilah kedua kalinya ku pergi ke sebuah perguruan tinggi sebelumnya ku pernah mengunjungi UNSWAGATI dan STAIN Sunan Gunung Jati di Kota Cirebon. Namun, baru kali ini ku melihat Perguruan Tinggi Negeri dengan notabene bukan sebagai peserta lomba cerdas cermat lagi melainkan sebagai calon mahasiswa ITB. Waw!!!. It’s so real and i can’t speak for this moment. Cerita ini menjadi awal hari-hariku di Bandung bersama 200 siswa se-jawa Barat untuk bersaing menerima beasiswa Pelopor ITB dan setiap detail dari ITB inilah yang kulihat setiap harinya baik dari MES maupun dari dekat.
....................................................
                Handphone pun ku nyalakan setelah sepekan sekali benda ajaib itu disita oleh petugas disiplin, sebagai tanda kedisiplinan . Puluhan SMS masuk dan ada yang tak sempat ku baca hingga di beberapa pesan kudapati pesan salah seorang teman perempuanku. Teman yang sudah lama berjumpa setelah sebelumnya kami bertengkar hebat hingga kuputuskan tak memberi kabar kepadanya terkait kepergianku ke Bandung. Awalnya hendak ku balas, tapi nada emosi ku berkata lain “mengapa harus membalasnya?, bukankah aku hanya ingin fokus selama disini dan buat apa pula aku meminta maaf toh, dia sudah minta maaf dan ku maafkan meskipun tak harus ku balas SMSnya”. Akhirnya, ku memilih untuk tak membalas pesannya.
                Tak lama berselang temanku bernama Gilang (panggilannya) menelponku dan mengucapkan selamat telah diterima di sebuah perguruan tinggi negeri bernama Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) di Fakultas Biologi. Waw!!!. Aku begitu lemas dan tertegun seolah tak percaya. Bukan karena aku diterima, tapi aku harus memosisikan perasaanku dimana aku harus senang dan mengucapkan Alhamdulillah pada kabar dari temanku. Tapi, aku pun tak boleh tenggelam dalam euforia karena, saat ini aku berada di Bandung dan dua hari lagi aku harus mengikuti Ujian Masuk Nusantara di gedung Orthogonal ITB.
                Tiga pekan yang begitu berarti dan diakhiri dengan sebuah tes, rasanya begitu cepat meskipun sebelum tes aku harus pulang ke Cirebon dahulu untuk Ujian Akhir Nasional. Hari itu, aku begitu sedih kembali ini tak biasa bagiku karena aku tak biasa menangis untuk sebuah perpisahan. Tapi, perpisahan itu sebegitu membekas hingga kini dimana didepan sebuah pintu masuk Institut tersebut kami 200 orang telah mengukir mimpi. Ironisnya, hanya 100 orang yang diterima di Kampus Teknik tersebut. Metafora, begitulah dalam majas ku artikan perpisahan ini semua berdo’a diterima di ITB dan semua saling berkata “Semoga, kita bertemu di SITH, di STEI, atau FMIPA”. Padahal, sudah jelas hanya 100 orang yang diterima disana.
...............................................................
                Orang bijak sering berkata, “Nikmati saja prosesnya dan kau kan mengerti indahnya hasil”. Atau sama seperti guru Matematika-ku “Kejujuran dalam matematika ditandai dari prosesnya, cara mendapatkan jawabannya meskipun jawaban tersebut kadang salah”. Ya, jawaban yang kadang salah. Bandung, Matematika, Bahasa Inggris, IPA, ITB dan Udaranya menjadi kombinasi unik yang selalu membuatku ingin berlari kencang. Who am I?. Prestasi terhebatku hanya masuk tingkat nasional Olimpiade Biologi. Atau aku sangat senang saat sudah bisa mengalahkan tim cerdas cermat SMA 2 Cirebon. And Then, Who are they?. 199 orang selain aku, adalah siswa-siswa yang namanya telah tercatat abadi dalam buku pemenang Olimpiade Fisika, Kimia, Matematika, bahkan biologi hingga berjubel medali yang pernah mereka raih. Rumus The King, Penalaran ala Neutron sudah menjadi konsumsi mereka setiap hari. Sedangkan, aku?. Mengenal Geround  dalam bahasa Inggris dan rumus Benzena saja aku sudah senang, padahal di tiap pekannya aku selalu di-remed (istilah untuk mengulang) pelajaran Kimia.
                Inilah cerita orang beruntung bagiku, dan aku tak bisa membayangkan selama 3 pekan itu pula aku masuk kelas O2 (kelas peringkat dua untuk siswa-siswa berbakat). Jadi dari 200 siswa tersebut dibuat peringkat hingga lima kelas berdasarkan tes awal. Urutannya N2, O2, H2, CO2, dan PO4. Unbelievable and Unpredictable. Aku belajar bersama siswa-siswa yang sangat jenius dan tiap hari selama senin-jum’at aku menikmati debat ilmiah di kelas dan diskusi ilmiah di halaman-halaman ITB. Calon Kampus kami. Proses begitu indah, bertemu dengan tunas-tunas bangsa dan pertama kalinya pula aku bertemu dengan seorang alumnus ITB bernama Ridwansyah Yusuf Ahmad. Orang yang suatu hari nanti di Unsoed, aku membaca bukunya dan mengenalnya sebagai orang hebat. Otakku seperti mesin 2 tak yang diajak berlari kencang dengan 199 otak bermesin 4 tak. Namun, aku begitu bangga belajar bersama mereka mengenakan almamater SMA N1 Lemahabang. Cerita yang suatu hari nanti, akan memotivasi adik kelasku untuk kuliah.
.............................................................
“Mungkin, Allah tidak langsung mengabulkan do’a kita. Mungkin Allah akan mengabulkan satu, dua, atau sepuluh tahun kemudian atau bahkan menggantinya dengan pemberian yang terbaik”. Itulah kalimat motivasi dari Mr. Abe (guru Kimia kami di REXA institute-Beasiswa Pelopor). Pikiranku setelah tes Ujian Saringan Masuk ITB sungguh sangat lengang. Bukan karena, aku yakin dengan jawabanku melainkan aku bangga merasakan semua fasilitas ini gratis. If you will be student in here, you must bought 250.000 Rupiahs for Document and Test Card. Aku memang mengalami kemajuan luar biasa menurutku dalam menjawab soal tersebut, bahkan terasa jawaban begitu menggelontor jatuh bebas dari otakku. Terlebih, aku sangat yakin dengan tes berhitung. Ya, tes ini hanya ada di ITB sebagai syarat masuk. If you lucky and Allah give you ‘help’, we can meet again at Sabuga. Sabuga, sebuah gedung untuk menerima mahasiswa baru ITB dan kebanggan almamater tersebut.
                Udara panas Lemahabang, menjadi tanda bahwa aku telah kembali ke sekolah sebagai perjuangan di Bandung. Aku terpaksa berangkat pagi, karena entah kenapa feeling ku berkata kan banyak siswa yang menyalami ku dan mengucapkan selamat. Tapi, perjuangan sebenarnya bukan pada Ujian Saringan Masuk atau UAN sekalipun. Yakni, aku harus memilih apakah aku akan mengambil PMDK Unsoed atau menunggu pengumuman USM ITB. Unsoed dibandingkan ITB? Bagaikan Goliath dan David menurut kepercayaan orang Yahudi dan Nasrani. Pelik, karena aku sering berkata akan kuliah di Unsoed sejak kelas 9 SMP, dan saat kesempatan datang aku “menduakannya” dengan sesuatu yang lebih elegan yakni ITB. Bahkan, satu kesamaan yang diluar dugaanku, aku memilih fakultas yang sama dikedua PTN tersebut Fakultas Biologi (Unsoed) dan Sekolah Ilmu Teknologi Hayati (ITB). Are you Crazy, boy?
..............................................................
                Tinta telah mengering, pena pun telah diangkat dari kertas di Lauh Mahfuzh sana. Fault (dalam arti gagal). Aku gagal mengharumkan nama baik SMA ku. Aku yang terkenal sebagai siswa bayaran, karena sekolah berani membayar fasilitas padaku, karena berkali-kali ku hadiahkan piala pada sekolahku. And Now? You are loser, right?. Ingin ku lari dan kuputuskan takkan kembali ke SMA kembali. Walaupun, aku telah dinyatakan lulus. Berhari-hari ku merenung untuk mencari arti semua ini meskipun dari 200 orang baru 80 orang yang diterima di ITB lewat USM dan artinya masih ada 20 orang lagi untuk mengisi kuota. Namun, semangatku terlampau luntur untuk kembali membuka buku dan belajar. Kadang ku menangis meratapi hal ini, namun ada sebuah suara kecil dari hatiku dan orang tuaku. “Gi, ini yang Unsoed terakhir bayar kapan?”, suara ayah memotong lamunanku. Refleksku berkata 1 minggu lagi. Biaya masuk Unsoed memang terbilang murah sebagai sebuah PTN di tahun 2010. Suara kecil itu berkata “Mungkin di ITB kamu takkan belajar mesin tapi, di ITB lah kamu belajar bersyukur dan belajar menjadi remaja yang tangguh”. Atau kata-kata “Allah mengganti do’amu dengan nikmat yang masih menjadi rahasia bagimu”.
                Purwokerto, hari pertama aku mendaftar ulang dan hanya ada 3 orang teman SMA ku yang masuk Fakultas Biologi. Dan 3 orang ini pulalah yang mengetahui cerita lengkapku tentang Bandung, ITB, Ujian, dan siswa-siswa terbaik se-Jawa Barat. Kini, aku telah menyelesaikan studi ku di Fakultas Biologi dan selama 4 tahun pula aku bertemu dengan beragam karakter mahasiswa hingga kesempatan menjadi mahasiswa berprestasi dan mengikuti seminar internasional. Dan, ITB?. Thanks to Allah, My Parents, My School, and another person. Allah Maha Mengetahui segala rezeki bagi hamba-Nya

                                                                               

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kombinasi Peluang

ASTER (I'M LIVING IN SCHOOL' MEMORIES INSIDE MY BODY-Part 1)

We Are a Superstar, and You?