Espressiologist – Skala Warna



Espressiologist – Skala Warna
"Apa kabar mereka"
                Mengapa bumi indah dilihat dan mengapa surga itu selalu dibayangkan dengan sesuatu yang teduh lagi meneduhkan?. Atau mengapa kita bilang bunga itu indah? Bulan itu cantik?. Konon, cerita kuno entah dari mana sumbernya mengatakan bahwa semuanya itu dari putih. YA PUTIH. Warna dasar yang berarti suci, hampa, dan bersih. Si Putih lalu membiaskan dirinya dan memendarkan warna lain hingga menghasilkan irisan merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Perpaduan warna itulah yang membuat mata kita memberikan refleks pada sistem saraf dan indera lainnya sehingga muncul kata – kata “Indah, cantik, menarik, atau bahkan jelek”.
                Lalu, apakah kita akan bahas warna itu seperti apa atau bentuknya bagaimana. HEHE. Tidak. Saya tidak akan mengisahkan mereka lagi, tapi saya akan menerjemahkan mereka dalam skala 4 dimensi. Kereen banget. Hiperbola saja, analoginya jika setiap tu
mbuhan perlu spektrum cahaya khusus untuk berfotosintesis artinya tidak semua warna dalam cahaya tersebut bisa merangsang fotosintesis. Atau, ada yang mengatakan sinar UV berbahaya membuat radiasi, karena spektrumnya bla bla bla. Artinya, setiap warna punya spektrum pendaran cahaya sendiri dan setiap spektrum bermanfaat untuk setiap objeknya sendiri. Umum yang khusus.
                Flashback, kapan pertama kali kita berani dengan lantang mengatakan “Ini cita-cita saya” atau “Saya mau milih jurusan ini, karena ntar kalau kerja jadi ini itu” bahkan “ah, mau kerja sajalah biar punya modal studi lanjut”. Pengamatan sederhana, hal itu terjadi saat kita memasuki jenjang SMA/SMK/MA. Karena, banyak pilihan dan banyak cita-cita yang harus kita pilih dan kita berkompetisi didalamnya disana. Mungkin tak banyak kisah menarik dariku, tapi setidaknya aku ingin tulisan ini hidup. Seperti air yang terus mengalir. Kami. Siapa kami?. Aku (faisal), diky, arief, idho, uul, rosdi, dede, intan, adi, ayu, dicky, dan lainnya. Allah menakdirkan kita untuk senantiasa berdiri menunggu bus ditempat yang sama selama 3 tahun, dan mengizinkan kita untuk lulus bersama di tahun 2010. Semua dimulai.
                Terlalu banyak pilihan bagi siswa SMA semenjana seperti sekolah kami, bukan karena semakin banyak pilihan sehingga kita bingung. Tapi, justru semakin banyak pilihan semakin membuat sempit hati, karena maklum saja sekolah kami tak semaju sekolah kota yang punya jejaring alumni kuat di seluruh Universitas di Indonesia. Sampai akhirnya satu persatu harus memastikan posisi masa depannya 4 tahun. Kampus pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung akhirnya menjadi pilihan Intan, Ayu, Uul, Rosdi, Dede, Gema dan Dicky. Memilih menjadi seorang guru dari berbagai disiplin ilmu tak mudah rasanya. Apalagi menjadi guru SD, kadang melihat anak kecil saja sudah menggemaskan. Bagaimana lagi kalau mengajarnya. Tapi, itulah kisah mereka.
                Aku lebih memilh berada di sebuah kota sederhana bernama Purwokerto, dengan Universitas Jenderal Soedirmannya. Impian sejak kelas 9 SMP lalu yang ternyata Allah wujudkan di tahun 2010, meskipun sempat lewat ITB. Hehe. Nasibku sama dengan Diky. Diky sendiri sempat menjadi calon guru di UPI Sumedang, tapi tekadnya yang kuat untuk menjadi seorang polisi. Akhirnya, di awal semester 4 dia memutuskan untuk keluar di UPI dan memilih menjadi polisi. Kini, kabar terakhir dia bertugas di Jatinangor.
                Idho, impiannya begitu luas untuk lanjut studi di universitas besar. Namun, sayang tak banyak pilihan hingga akhirnya dia memutuskan di Akademi Kimia Analis (AKA) di Bogor. Sempat bekerja di sebuah perusahaan swasta, namun Juni lalu resign karena kondisi ibu di rumahnya sedang sakit. Kini, Idho masih di cirebon sedang mengembangkan bakat wirausahanya. Sedangkan, adi?. Sudah, lama ku mengenalnya sebagai pemain basket hebat dan andalan sekolah. Sampai kupikir pasti dia lanjut ke perguruan tinggi olahraga. Tapi, Allah menunjukkan jalan lain dengan menjadikannya sebagai likuiditor di sebuah bank swasta di Jakarta. Arief dan Gema, seperti cita-cita mereka ingin menjadi seorang dokter. Kini mereka sedang menjalani kuliah profesi meraih gelar “dr.” di Magelang. Kalau tak salah informasi.
                Kini, kami semua sudah memiliki warna dan ciri khas masing-masing. Mungkin, sebagian sama tapi, tetap saja berbeda. Tak lagi, sesama putih dan abu-abu. Tapi, berpendar dengan spektrumnya masing-masing, berkontribusi dengan usahanya masing-masing. Selamat menikmati warna kita, karena itu Anugerah dari Allah yang memang sengaja dibedakan agar kita semakin mengenal siapa diri kita dan untuk apa kita di dunia ini. Semangat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kombinasi Peluang

ASTER (I'M LIVING IN SCHOOL' MEMORIES INSIDE MY BODY-Part 1)

We Are a Superstar, and You?