Time Machine – Smartcity of Baghdad
Time
Machine – Smartcity of Baghdad
First time,
dalam tulisan ini tentunya tidak akan bahas cara membuat mesin waktu, apa bahan
bakarnya, atau bentuknya bagaimana. First
time pula, tulisan ini hanya menambah wawasan, inspirasi, dan ada
kelanjutannya, serta tentunya bukan dijadikan sebagai rujukan utama. Kali ini,
secara lebih singkat saya akan berbicara tentang Baghdad. Kenapa Baghdad?.
Tentunya bukan semata-mata Baghdad merupakan ibukota Iraq, melainkan menelisik
konsep pembangunan Baghdad berdasarkan jurnal-jurnal dan data pendukung
lainnya. Baghdad merupakan satu dari sebagian kecil kota yang dari dulu hingga
sekarang menjadi ibukota sebuah pemerintahan besar. Sebut saja, Roma atau
Mekkah yang hingga sekarang menjadi pusat kota jauh sebelum era milenium
dikenal.
Baghdad mulai dikenal ketika terjadi penaklukan warga di
kota tersebut di zaman khalifah Umar Bin Khaththab. Walaupun, setelah khulafaur rasyidin baghdad belum terlalu
dilirik karena saat itu Daulah Umayyah lebih memilih Damaskus sebagai pusat kotanya.
Era berganti dan masuklah Daulah Abbasiyah dalam deretan sejarah kegemilangan
Islam. Baghdad mulai dijadikan ibukota. Namun, jangan memikirkan ibukota saat
itu sudah ada busway, monorel, KRL.
Tapi, banyak sisi unik yang kemudian dibangun di Baghdad dimulai saat itu.
Tahun 750 Masehi, Baghdad diresmikan sebagai ibukota Daulah Abbasiyah, setelah
dilantiknya Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-abbas
menjadi khalifah. Mengapa orang-orang atau sejarawan baik Islam maupun
orientalis menganggap berdirinya Daulah Abbasiyah sebagai revolusi. Hal ini menurut Mudzhar (1998) ialah terjadinya perubahan
ideologis, tatanan sosial, intelektual, dan infrastruktur.
Pada masa Daulah Umayyah banyak referensi yang
menyebutkan sering dicelanya ahlul bait
dari kalangan Ali bin Abi Thalib. Tentunya, penulis pun tidak tahu sejak kapan
dan siapa pelopor gerakan tersebut. Revolusi yang mungkin paling terasa ialah
gerakan intelektual yang berujung pada infrastruktur. Perlu digarisbawahi
disini menurut Muamar (2009) pembangunan sebuah sistem pemerintahan dimulai
dari pembangunan akhlak individu secara Islam. Hal inilah yang membuat Baghdad
begitu maju di era tersebut. Titik tekan ini pulalah yang seharusnya menjadi
perhatian para pemerintah dalam membangun sebuah kota harus didasari
pembangunan akhlak individunya. Muamar dan Ibnu Khaldun (2004) menambahkan
konsep pembangunan akhlak manusia yang dibangun di zaman tersebut (kegemilangan
Islam, red) ialah Konsep ‘Umran Bashari’, yakni pengembangan secara menyeluruh
berdasarkan agama, tidak hanya atas dasar ekonomi dan kebebasan semata seperti
Adam Smith utarakan.
Era 786-809 Masehi, tepat diamanahkannya Khalifah Abu
Ja’far Harun ar-Rasyid atau lebih dikenal Harun ar-Rasyid. Baghdad menjelma
menjadi kota ‘modern’ pertama dalam sejarah abad pertengahan. Modern dalam arti
terkoneksinya semua sistem pemerintahan, baik sosial, politik, ilmu
pengetahuan, hukum, dan tata negara lainnya. Baghdad bisa dikatakan sebagai ‘Smartcity of Moslem’ saat itu. Bowerman et al (2000) dan Nam & Pardo (2011)
dalam annual international conference on
Digital Government Reseacrh ke-12 menjelaskan konsep Smartcity ialah kota yang terintegrasi antara sistem teknologi,
sosial, kebudayaan, kemanusiaan, dan institusi. Khalifah yang memang menyukai
ilmu pengetahuan yang didasari nilai ke-Islaman. Jika kita menilik buku
biografi Imam Syafi’i, maka kita akan menemukan seringnya Khalifah menemui
beliau untuk meminta fatwa dan pendapat terkait kebijakan pemerintahan. Bahkan,
sampai dengan urusan rumah tangga khalifah.
Gerakan penerjemahan berkembang pesat, hingga akhirnya
sang Khalifah membangun sebuah perpustakaan umum di pusat kota. Bayt al-Hikmah atau House of Wisdom nama perpustakaan tersebut. Tata letak yang menarik
di Baghdad era tersebut ialah hampir sama dengan konsep ‘Jawa’. Hal ini
terlihat dari 5 bangunan yang menjadi tulang punggung Smartcity ala Baghdad, yakni:
a. Kuttab, yaitu tempat belajar dalam tingkatan pendidikan rendah dan menengah.
b. Majlis Muhadharah,yaitu tempat pertemuan para ulama, sarjana,ahli pikir
dan pujangga untuk membahas masalah-masalah ilmiah.
c. Darul Hikmah, Adalah perpustakaan yang didirikan
oleh Harun Ar-Rasyid. Ini merupakan perpustakaan terbesar yang di dalamnya juga
disediakan tempat ruangan belajar.
d. Madrasah, Perdana menteri Nidhomul Mulk
adalah orang yang mula-mula mendirikan sekolah dalam bentuk yang ada sampai
sekarang ini, dengan nama Madrasah.
e. Masjid, Biasanya dipakai untuk pendidikan tinggi dan tahassus.
Pembangunan besar-besaran
bahkan sudah dimulai di era kekhilafahan Mansyur hingga Al-Ma’mun. Integrasi
nilai Islam meresap jauh hingga ke tatanan sosial, dimana kaum intelek ataupun
orang yang ingin belajar tidak saja diberi tempat tinggal namun diberi
penghidupan yang layak. HAM dijunjung. Dalam buku yang ditulis Salim A. Fillah
(Dalam dekapan ukhuwah) disiratkan
bahwa saat kota-kota di Eropa masih gelap karena hanya diterangi cahaya bulan,
maka Baghdad terang benderang oleh kilauan lampu minyak dan lampu bergas.
Tergambar bahwa teknologi saat itu sudah maju, para sarjana muslim saat itu,
berfikir menciptakan pelbagai alat yang berguna bagi kemajuan umat manusia
(bukan sekedar umat Muslim). Hebatnya lagi, hal ini bahkan terintegrasi dengan
institusi pendidikan. Beberapa sejarawan berani menyebutkan, bahwa universitas
Al-Azhar di Kairo yang dibangun dinasti Fathimiyah merupakan buah peniruan dari
sistem pendidikan di masa Dinasti Abbasiyah.
Rasanya, jika kita
berbicara sejarah tentunya perlu bukti kuat dan tak cukup berhenti ditulisan
ini. Tulisan ini baru sekedar refleksi masa lalu, dimana kegemilangan Islam
dibangun dari pengembangan akhlak manusia muslim disana bukan sekedar
pembangunan fisik seperti infrastruktur. Layaknya sebuah hierarki, maka untuk
membentuk Smartcity diperlukanlah
berbagai komponen yang membina akhlak sekaligus mengimplementasikannya pada
pembangunan fisik.
Komentar
Posting Komentar