Szafron – Titik Nadir (1)


Szafron – Titik Nadir (1)

“Ingatlah, Ia (Allah) meliputi segala sesuatu sesuai sifatnya Yang Tiada Dipermulaan dan Yang Tiada Diakhirkan. Dimanapun, Ujung dunia sekalipun Allah ada. Maka, sepatutnya kita mendatanginya dengan segala harap pengabulan do’a”
............................................

Rasanya nikmat, jika semua yang ingin kita dapatkan segera terbentang laksana permadani merah menyambut raja dan permaisuri dunia. Nampaknya, aku perlu belajar kegigihan petani – petani saffron di sebuah ladang di Iran dan Kashmir. Bunga yang termasuk dalam familia Iridaceae ini dipanen dalam kurun waktu 6 jam, dengan keahlian mencabut bunga tanpa merusak umbinya. Bunga yang hanya mekar berjarak 6 inci dari tanah. Tak hanya itu, seperti ku bilang sebelumnya, perlu beribu-ribu helaian mahkota bunga untuk mendapatkan ratusan kecil gram yang siap diekspor ke penjuru dunia. Allah ingin melihat bagaimana bunga ini dipanen dengan isak peluh kesungguhan dan dedikasi pengharapan rasa syukur dari hamba-hambaNya.

Tak begitu denganku di saat itu, sesaat setelah tahu besar kemungkinan memberangkatkan istri untuk studi lanjut di benua biru. Rupanya telah melupakan rasa syukur terhadap keterlibatan Sang Maha Perencana. Segera aku datangi kantor administrasi pendaftaran “sekolah lanjutan” dan ingin sesegera mengubah jurusan untuk lanjut perkuliahan master.

“Dzien dobry, prosze pani Kasja”, tukasku membuka percakapan dengan salah satu staff administrasi.

“Slucham pana, czemu? (iya tuan, silahkan ‘ada perlu apa?’), timpalnya.

“Czy ja moge zmienic kierunek studia magisterskie?. Bo, mam nowa informacje (Bolehkah saya mengganti jurusan studi master saya?, karena saya punya informasi baru)”, tanyaku.

“Bardzo prosze, mam prosbe, zeby ty musisz szybciej registrowac do uniwersytetu przyrodniczy w Poznaniu. Ja potrzebuje aktualnie informacje (Silahkan, saya punya pesan supaya kamu segera mendaftar ke Poznan University of Life Sciences. Saya butuh informasi terbaru dari kamu)”, jawabnya.

Tak berselang lama, ku ubah posisi pertama pilihanku ialah program Master of Science Hortikultur dan kedua ialah Bioteknologi. Tentunya dengan penuh harap, jika keduanya diterima maka bisa kuhibahkan salah satu kuota mahasiswa di program Bioteknologi untuk istri ku.

“Kak, maaf jangan marah?”, tanya Istriku dengan nada penuh kecewa.

“Iya kenapa sayang”, timpalku.

“Ternyata skor TOEFL-nya ga nyampe B2”, sambil menahan isak tangis ia jelaskan.

Bagaikan petir disiang bolong, bagaimana tidak salah satu syarat utama dan mutlak studi ialah kemampuan bahasa Inggris level B2 yang dibuktikan lewat sertifikat tiba-tiba tidak terwujud. Tatapan mata sempat kosong, dan ingatan melayang kembali ke secarik kertas hitung-hitungan prediksi keuangan jika salah satu dari kami bukan menjadi mahasiswa. Terlebih, ingatan keinginan istri untuk menjadi mahasiswa kembali di Eropa kembali akan menguap. Rasanya ingin segera pulang kembali ke Indonesia dan melupakan semua kejadian di Lodz. Namun, kapal telah terlanjur disauh jauh melewati samudera yang luas.

“Oke, yasudah begini aja sayang. Sertifikatnya dikirim ke email aka nanti sisanya aka yang urus. Sayang fokus sama formulir pendaftaran dan motivation study didalam formulirnya. Kalau sudah satu atau dua hari kemudian baru dikirim”, sambungku seperti sebuah instruksi singkat operasi militer.

Telepon pun ditutup, otakpun berfikir bagaimana dan harus melakukan apa dengan waktu yang sangat singkat menuju penutupan pendaftaran di akhir bulan Mei. Kuambil beberapa carik kertas, ku atur ulang strategi dari mulai plan A, B hingga C. Ku tarik garis lurus, siapa saja orang yang mesti kuhubungi dan dimintai solusinya. Entah bagaimana bayangan ucapan guru bahasa Polish bahwa Poznan adalah kota termahal ketiga di Polandia mendadak seperti hantu yang muncul dari belakang punggung. Terlebih semua hal saling berkaitan di negara ini, setidaknya jika kami berdua bisa berkuliah beban keuangan bisa berkurang karena beberapa fasilitas kampus sedianya memang didesain untuk para mahasiswa, entah mereka berkeluarga, atau tidak atau hanya sekedar hidup bersama sekamar tanpa ikatan yang lumrah di Eropa.

Selang berapa hari kemudian, setelah ku poles beberapa bagian CV, Form pendaftaran kampus untuk program Master of Science-Biotechnology dari istri dengan menyebut Bisimillah, ku kirim semua dokumen termasuk sertifikat TOEFL istri. Pengharapan sudah digantung apakah ia akan menguap seperti asap yang hilang ataukah ia akan bertransformasi menjadi hujan yang mendinginkan permukaan kulit ini. Jika ia menjadi asap maka ditunggu sampai kapanpun tak ada gunanya karena, asap akan hilang dengan sendirinya di angkasa entah lama ataupun sebentar. Jika ia menjadi hujan yang menyirami rumput dan bunga-bunga liar, ia akan berkumpul dan menunggu waktu tepat sebelum turun ke bumi.

Beberapa hari berjeda dari proses pengiriman, tetap kupegang rahasia keberangkatan istri ke Polandia sebagai master student kepada yang lainya. Karena, sejujurnya terkadang ucapan-ucapan ketidak tahuan sering mengisi hari-hariku mengenai biaya hidup di Poznan bagaimana, tinggal dimana, apa yang akan istri lakukan selama aku kuliah, hingga bagaimana rencana jalan-jalan keluarga keliling Eropa. Pertanyaan-pertanyaan privasi yang merobek ulu hati, membuat akal dan saraf menjadi mati, hingga semua usaha terasa tak berarti. Kemudian, munculah panggilan mendadak di Whatsapp ku dari seorang kawan yang bersekolah bahasa di kota lain dan juga membawa serta pasanganya.

“Assalamu’alaikum, sal nanti di Poznan tinggal dimana?” tanyanya. Pertanyaan sama hampir dari semua kawan-kawanku di Polandia.
“Wah, belum tahu nih. Lu dimana ntar sama istri?’, tanyaku balik. Sebenarnya harapku ialah dia memberi solusi untuk setidaknya tinggal bersama dalam sebuah asrama petak panjang dengan share-bathroom dan  share-kitchen. Sehingga harganya jauh lebih murah.

“Dapat info dari teman yang studi doktoral disana. Kemungkinan ngincar flat yang harganya 1100 – 1500 zloty punya universitas atau diluar”, imbuhnya.

(pupus sudah harapan, mendengar harga flat apatah lagi keputusan kawanku ini. Padahal disaat yang sama inginku untuk dilibatkan dalam proses pencarian flat bersamanya ataupun saling bahu membahu sebagai mahasiswa yang membawa pasanganya kelak di Poznan).

“Waduh, 1500 zloty sih udah habis uang beasiswa gue ntar. Bakalan makan apa ntar di Poznan”, kekehku sembari sedikit tertawa. Tawa gelisah akan kehidupan kelak.

“Iya ini coba mau apply untuk yang flat khusus mahasiswa umum aja harganya 1300 – 1350 zloty sebulan”, simpulnya.

(Dari sini ku sadar, perkataan tanpa melihat kondisi kawan justru ibarat pisau yang menusuk. Karena, dibalik telepon seorang kawan mengharap bantuanya dengan bersembunyi memakai kata-kata hiburan. Saat aku, masih tak tahu harus bagaimana dengan kehidupan keluargaku kelak. Kawanku sudah apply sebuah flat untuk hidup bersama dengan keluarganya)

Percakapanpun selesai ketika ku bilang semuanya akan diputuskan nanti, saat selesai ujian sertifikat bahasa Polish. Jawaban yang hanya mendelay dan kelak bisa menjadi bom waktu.
......................................
“Good morning Mr. Faisal Anggi Pradita. Herewith this attachment, I announce pleasantly that you will be our student in Biotechnology programme for 2019/2020 academic year. Please be careful with the next steps mainly you still need to pay 200 Euro for enrollment fee for saving your place in the course until the next week”, kurang lebih seperti inilah isi email dari kepala International Advisor di Poznan University of Life Sciences.

Perasaan bingung dan “mendadak hilang arah” menjadi-jadi di hari itu. Gagal sudah ekspektasi untuk kuliah di bidang Hortikultur. Bukan berarti tak ingin dan tak menyukai bidang Bioteknologi. Aku menyukainya tapi saat ini ia bukan prioritas, dan ia kujadikan cadangan jika terjadi hal-hal yang tidak sesuai rencana untuk studi istri. Nyatanya, ini sangat jauh dari plan A sampai dengan C yang kurencanakan. Segera saat itu juga, ku tulis email langsung menuju Vice-Dean Faculty of Horticulture and Architecture Landscape untuk menanyakan kejelasan hasil aplikasi pendaftaran studi masterku.

“Dear Mr. Faisal. As I know due to higher number of applicants in our programme. Therefore, you are in reserve list. Please wait until the end of June to know your position”. Kurang lebih seperti itu pula, isi email dari ketua program di fakultas hortikultur.

Akhirnya, asap harapan dan asap kegagalan rencana sudah semakin mengangkasa dan bersiap membaur bersama waktu dan komponen udara lainya. Dengan berat hati, ku donwload semua jadwal pembelajaran di program Bioteknologi dan ku petakan apa yang harus kulakukan di tiap semesternya, apa yang harus kuteliti untuk menjadi riset masterku, dan lainya. Semua keinginan untuk saling membersamai suami-istri dalam studi nampaknya belum terealisasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kombinasi Peluang

ASTER (I'M LIVING IN SCHOOL' MEMORIES INSIDE MY BODY-Part 1)

We Are a Superstar, and You?