Szafron – The first summer
Szafron
– The first summer
“Allah-lah
yang berkehendak manusia hanyalah berusaha dan berdo’a penuh harap. Jangan sesekali lepas keduanya, bekerjalah dalam diam.”
Saffron (Szafron dalam
bahasa Polandia) ialah herba khas mediterania yang menempati posisi puncak
sebagai bumbu termahal dalam setiap sajian makanan. Karena mahalnya, sangat
sedikit shafron dijual dalam kemasan berukuran besar. Cukup dengan kemasan
kecil berukuran beberapa gram dengan 3-5 helaian mahkota bunga kering, mereka
didistribusikan dari negara-negara mediteran seperti Maroko, Tunisia, hingga
Spanyol ke berbagai belahan dunia. Helaian-helaian mahkota tersebut akan
merubah cita rasa makanan menjadi lebih nyaman di lidah, dan terkesan mewah.
Herba ini akan mulai dipanen ketika di Eropa memasuki awal musim semi dan juga
dikonsumsi sebagai penguat rasa minuman seperti teh, dan herbal lainya.
Tak jarang Allah
membuat perumpamaan hal kecil yang berdampak besar, hal kecil yang menjadi
kunci pembuka pintu-pintu rahmat-Nya seperti helaian mahkota bunga Saffron.
Akhir musim semi di Polandia sudah mulai terbaca memasuki awal bulan Mei. Kelas
bahasa Polish menjadi semakin menjadi-jadi menuju ujian akhir semester dan
menjelang libur musim panas. Namun, ditengah itu semua justru ini adalah titik
menentukan bagi kami semua di Lodz. Akan kemana kami melanjutkan studi master
kami. Beberapa kampus negeri sudah membuka pendaftaran programnya hingga akhir
semester untuk waktu penutupanya. Beberapa kawan pun nampak sudah menentukan
pilihan dan akhirnya mendapatkan kampus yang diinginkan, meskipun tak jarang ada
yang berpindah menuju kampus lainya dengan berbagai alasan pribadi.
..........................................................
“Prosze pana Faisal,
dokad bedziesz studiowac na drugym stopnia?”, guru Bahasa Polish menanyaiku di
tengah waktu istirahat.
“chyba skontynuje
studie na uniwersytym przyrodniczym w Poznaniu” (Mungkin, aku akan melanjutkan
studi di Poznan University of Life Sciences”, jawabku.
“Dlaczego tam? Poznan
to drogie miasta na trzecim w Polsce. Ja wiem, bedziesz mieszkac razem z twoja
zona. Ale, prosze zrobic dobra decyzja dla was jesli chce studiowac tam”
(Kenapa disana? Poznan ialah kota mahal ketiga di Polandia. Saya tahu, anda
akan tinggal bersama istri anda. Tapi, tolong buat keputusan tepat untuk kalian
jika ingin studi disana)”, timpalnya sekaligus mengakhiri waktu istirahat kami.
Entah untuk kesekian
kalinya, banyak pertanyaan mengucur deras bagaikan hujan di musim panas. Sudah
tiga kota ku hapus dari daftar studi masterku yakni Wroclaw, Warsawa, dan
Krakow. Ketiganya konon menurut orang sini ialah deretan dari 5 kota dengan
biaya hidup mahal di Polandia termasuk Poznan dan Gdansk. Parahnya ialah ketiga
kota tersebut memiliki kampus life sciences, tempat kuliah khusus bidang
nature. Jika ingin jujur, praktis hanya dua kampus life sciences saja yang
tersisa yakni di Poznan dan Lublin, sedangkan di Lublin peringkat kampus life
sciences masih jauh dibanding di Poznan dan Warsawa.
Otak mulai diputar,
hitung-hitungan prediksi keuangan mulai dipersiapkan dengan berbagai macam
konsekuensi dari mulai tempat tinggal, living cost, transportasi, health
insurance, hingga biaya lain lain yang tak terprediksi. Hasilnya “Almost
Impossible” atau bisa dikatakan “Tidak mungkin alias Mustahil” untuk berkuliah
di Poznan dengan mengandalkan 1500 zloty berupa beasiswa tunggal. Cara lain
yang bisa kutempuh ialah kembali ke “Jalur Biologi murni” dan mengambil kelas
master berbahasa “Polish”. Setidaknya hal itu bisa memangkas biaya pendaftaran
kampus jika diterima sebesar 200 Euro atau 850 zloty. Tapi, dimana? Itulah pertanyaan
selanjutnya.
Tanpa pikir panjang,
segera kuayunkan langkah selepas pulang kelas menuju ke tempat penerjemahan
dokumen bahasa dari Inggris-Polandia. Salah seorang teman sengaja mengikutiku
karena ia pun hendak menerjemahkan dokumenya. Ditengah perjalanan tram, dia
sempat bertanya.
“Bang, lu kenapa pindah
ngambil master by Polish?”, tanya Ajeng.
“Ga ada apa-apa jeng,
soalnya jurusan gue kan Biologi. Nah kalo bisa ambil Biologi lagi kan jadinya
linier”, jawabku sambil menutupi alasan “kemuflisan kantong dompetku”.
“Terus lu mau daftar
dimana bang?, ini (bulan) kan mau selesai semesteran. Maksud gue, lu ga
cepet-cepet daftar. Kalo gue kan masih satu semester lagi di Lodz”, tambahnya.
(Oh iya Lodz, Lodz University
kenapa tidak terfikirkan opsi ini).
Perjalanan penerjemahan
pun selesai, tinggal menunggu waktu pengambilan dokumen. Pikirku bahwa tak apa
jika nanti berkuliah di Lodz, toh Lodz juga bagus secara ilmu biologi dan masih
di Eropa (hehe). Tak mengapa berbahasa Polish kuliah master, setidaknya jika
susah dan tidak mengerti aku bisa kembali ke kelas Polish bertanya pada guru
bahasa Polish. Cukup mendapat 3 disetiap ujian asalkan lulus dan tak perlu
mengambil kelas “Poprawka (remedial)”. Nampaknya menyederhanakan kebahagiaan
demi kebahagiaan yang lain jauh lebih diatas impian ku saat ini. Toh, kuliah di
Polandia juga bukan sesuatu yang direncanakan sejak jauh hari.
(Kring...kring) sebuah
panggilan Whatsapp masuk ke ponsel
Ternyata itu merupakan
panggilan dari Istriku di Indonesia. Terdengar kabar bahagianya telah hampir
rampung menyelesaikan amanah pekerjaanya menjadi guru. Namun dibalik ponsel,
sang suami merasa khawatir jika ia tak bisa membawa sang Istri ke tanah
rantauan. Jangankan membawa, bisa jadi 2019 menjadi tahun terakhirnya berada di
Polandia. Emosi dan sedih bercampur aduk tertahan dalam getaran bibir yang
hampir meluncur menuju speaker ponsel.
............................................
Selang beberapa hari,
seorang petugas administrasi sekolah bahasa mengunjungi kelas kami untuk
memastikan tujuan studi kami di jenjang master. Ia sengaja membuat dua buah
kolom beserta dua buah kolom lagi. Dua buah kolom pertama berisi tujuan
universitas beserta bidangnya. Dan sisa dua kolomnya berisi bahasa pengantar
perkuliahan. Beberapa teman sudah tidak ragu lagi mengisi form tersebut,
mengingat hampir mayoritas sudah diterima di kampus masternya. Hanya tersisa
beberapa siswa saja termasuk aku didalamnya. Berat tinta ballpoint mengalir
dari ujungnya menulis opsi pertama Poznan University of Life Sciences – Master in
Horticulture dan opsi kedua Lodz University – Biology. Beberapa dokumen terjemahan
berbahasa Polish pun sudah dikirim ke administrasi “sekolah lanjutan”. Hanya
menunggu pengumuman tahap selanjutnya untuk menjadi mahasiswa di Lodz.
....................................
“Sayang, ada sertifikat
TOEFL ga?” tanyaku via Whatsapp messenger.
“Ga ada, memang butuh
ya?”, tanya istriku balik.
“Alhamdulillah ada
kesempatan kuliah master bareng di Poznan University of Life Sciences di
program Bioteknologi. Programnya terintegrasi banyak fakultas termasuk animal
sciences dan animal biotechnology. Insyaallah nanti bisa ambil bidang itu pas
tugas akhirnya”, sambungku.
“Alhamdulillah bisa kuliah
lagi. Butuh TOEFL nya berapa kak?”, tanya Istri dengan nada penuh penasaran
bagaikan bunga dendellion yang hendak menerbangkan biji-bijinya.
“B2, Kalau masih sempat
Maret – April bisa ikut tes TOEFL di salemba”, jawabku.
“Alhamdulillah, oke
kak. Mohon do’a dan semangatnya”, timpalnya.
Percakapan menegangkan
yang bermula dari permohonan do’aku lewat ayah yang sedang melaksanakan ibadah
umrah di Mekah dan Madinah. Betapa dekatnya ucap do’a sang Ayah dihadapan Rabb
Yang Maha Mendengar. Bagaikan jepretan kilat dikala hujan, sepersekian hari
saja saat kubuka website kampus di Poznan. Melihat program bioteknologi yang
dibuka pendaftaran untuk mahasiswa internasional dan dibiayai oleh Uni Eropa.
Jadi, strategi ini mulai
kembali ke track awal ditambah pertolongan dari Allah. Yakni berkuliah di
kampus pertanian di Poznan dan juga bisa mengikutsertakan istri untuk bisa
kuliah master. Sesuatu yang dia impikan sejak lama, dan di eropa. Meskipun
sebenarnya ini masih awal dan masih terlalu dini untuk bersenang-senang seolah
sesuatunya berjalan normal layaknya apa yang diinginkan.
Komentar
Posting Komentar