Magnolia
Magnolia
“Apakah
Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau
rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (QS. Al-Mulk : 14)
Semua
yang berawal pasti memiliki akhir, segala yang tercipta pasti memiliki alasan.
Ini tentang sifat ke-Maha Lembutan-Nya yang menjangkau segala domain kehidupan.
Lebih tipis dari kulitan luar electron yang mengelilingi inti atom, mungkin
lebih tipis lagi. Lebih lembut dari sutra yang ditenun dan bahkan lebih lembut
lagi. Karena terlalu lembutnya, sulaman takdir merangkai kolase-kolase yang
akan menjadi bingkai – bingkai kehidupan yang dinamakan hari ini.
Marah,
kesal, benci, emosi, depresi, hingga lebih baik mati ialah jalan yang mesti
ditempuh bukan sebagai keharusan. Melainkan sebagai penebus kesalahan, tanpa ke-semuanya
takkan ada tenang, damai, harap, pinta, dan cinta. Mereka dicipta oleh Rabb
bukan untuk menjadi pelekat raga terlebih sukma, mereka hanyalah pemantik makna
untuk tetap menengadahkan asa dalam do’a. Pun dengan sebaliknya, hal-hal baik
tersaji bukan untuk menebar hura tetapi mereka-lah yang diharap oleh Rabb
menjadi penjaga rasa.
Takkan
ada sekecil butir atompun sesuatu yang Dia takdirkan bukan menjadi milik
hamba-Nya, dan takkan binasa satu helai daun pun yang Dia takdirkan menjadi
milik hamba-Nya sebelum hamba-Nya memiliki helai tersebut. Sebuah kalimat yang
menyayat kalbu dalam sebuah malam -malam yang semu dipenuhi ragu. Akankah hidup
akan terpatri selesai dengan ketiadaan ataukah ada pepohonan rindang dibalik jendela
malam yang pekat. Terlalu berat logika dalam mencerna, terlalu dalam raga
dalam putus asa.
Jika bumi ini tersusun dari
ratusan negara dengan ragam jenis manusia didalamnya, apakah hidup akan
berlabuh ke tempat lain yang Ia tandai dalam takdir. Ataukah, memang kota yang
dahulunya indah ini memang menjadi perhentian akhir dari sebuah bahtera kecil
manusia. Pengharapan yang sia-sia, ketika raga dan jiwa menaruh sepenuh kerja dan
do’a pada kota ini pada orang-orang yang berdiam dalam hening kursi-kursi
mikroskop. Penipuan
dan ketertipuan bagai dua buah silogisme yang epik dalam memberi candu untuk ber-angan
lebih. Hanya tanah dari bumi-lah yang Ia jadikan pengingat takkan ada
pengharapan yang lebih agung selain kepada Pemilik Semesta.
Hitung
mundur jam arloji, mempercepat denyut nadi, memberi rima pada hati yang sunyi. Berjalan
mundur memejamkan mata, merasa angin yang dikirim Rabb dalam sepersekian
detiknya. Sesekali menengadahkan kepala kepada langit yang penuh gugusan bintang,
memerhatikan bagaimana mereka pun kaget mengapa seseorang yang sudah hampir
mati karena benci dan depresi bisa menemukan tempat persembunyian cahaya langit
utara. Itulah masa, sebuah jawaban normatif dari para peraih mimpi. Bukan,
itulah kerja, sebuah jawaban ekspresif dari para pemuja hasil. Bukan, itulah اللطيف. Itulah Rabb, Allah, yang bukan hanya jawab
dari penasaran para rasi bintang melainkan Ia-lah yang memberikan penjelasan
pada mereka bahwa Ia-lah yang menjadikan keberadaan seseorang tersebut di bawah
atap langit hemisfer utara tanpa disadari dan diperkirakan sebelumnya oleh
keterbatasan mereka.
Komentar
Posting Komentar