Hukum Karma



Hukum Karma


            Karma merupakan kata unik dengan perpaduan zat kimia di dalamnya. Entah kapan Tuhan meniupkannya, hanya saja kita tak pernah tahu kala tiba waktunya. Namun, kadang dapat tiba di sebuah agenda kecil dan ledekan sederhana antar teman. Ibnu, dan Solihin adalah dua orang teman karib semasa SMP, yang menemani saat pulang dan berangkat sekolahku. Sialnya, saat itu aku dibebani menjadi seorang ketua kelas dari sekelompok Homo sapiens yang memiliki tingkat kenakalah di puncak-puncaknya.
            “Hai, dit sudahlah jangan terlalu banyak melamun! Nanti, bisa seperti Solihin tuh yang telat masuk sekolah dan kini sudah 18 tahun”, ledek Ibnu sambil tertawa.
            Solihin memang bisa dibilang siswa yang paling tua walaupun dia juga cerdas secara akademik dan menjadi striker utama tim sepakbola kelas B. Terlahir di usia 1990, saat awal masuk SMP tak ada yang mengira bahwa dia sudah 17 tahun. Hal ini memang nyata dan bukan kejadian aneh entah karena kehilangan kromosom atau apapun itu, ya memang tubuhnya tetap kecil. Bahkan, hingga kini ku mengenalnya. Gaya jalanya yang khas mirip seperti seseorang anak kecil yang terperangkap dalam tubuh dewasa. Potongan rambutnya pun disisir rapih belah tengah. Kelak, dia akan menceritakan bahwa potongan rambutnya ini terinspirasi dari penjaga gawang Gianluigi Buffon. Seorang penjaga gawang tim Juventus dan timnas Italia.
            “Haha, sejak kapan saya disamain sama Solihin”, balasku.
            “Eh, tapi jangan salah dit biar begitu banyak siswi terpikat sama dia dari mulai sekolah kita sampai ke sekolah seberang”, timpal Ibnu sambil sedikit cegukan pertanda meledek Solihin.
            “Tentu aja nu, bagaimana ga banyak secara segi usia sudah punya KTP dan siap menikah”, timpal balikku sambil tertawa terkekeh.
            Kali ini nampaknya Solihin mulai memerah wajahnya. Maklum, temanku yang satu ini sangat sensitif masalah usia apalagi secara fisik tidak seperti orang berusia 17 tahun semestinya.
            “Wah, wah ada yang lagi ngobrolin saya ini!, telinga rasanya panas ini”, lanjut Solihin.
            “Iyalah jadi pujaan siswi-siswi di pelosok sekolah manapun, coba Ibnu sama Adit mikir aja masih seperti anak kecil yang hobinya mainan terus”, Solihin mulai ledekan membabi butanya.
            “Eh, sembarangan kalau saya sih bukan masalah sama siswi-siswi hanya aja saya masih ga minat” balasku “Kalau Ibnu tuh, beraninya hanya sampai miscall aja jadi ga salah kalau dipanggil Cumi (Cuma Misscall)”, imbuhku.
            Istilah Cumi sangat populer ketika tahun 2006 tersebut ketika ada salah satu provider yang menggunakanya untuk media promosi. Walaupun begitu, jangan anggap kami semua memiliki alat telekomunikasi canggih bernama handphone. Maklum saja, pengkhayal seperti kami paling kuat hanya membeli kupon request radio sekolah kami berharga Rp. 250 yang saat itu sedang booming dengan salam-salam misterius kepada para siswi.
            “Awas aja kamu dit, lihat pembalasan seorang Ibnu!” kelakar Ibnu sambil membereskan tempat duduk sebelum pulang.
            Juma’at itu sekolah sangat ramai sekali, mendekati lomba Kerapihan Kebersihan dan Keindahan Kelas. Hanya ada beberapa kegiatan ekstrakurikuler yang beraktivitas di hari tersebut diantaranya Basket dan Pramuka. Meskipun begitu, untungya aku sudah memberikan surat izin ketidakhadiran. Kalau saja, bukan karena tugas ketua kelas takkan pernah ku pedulikan 12 makhluk bernama siswa laki-laki di kelasku.
            “Coba, coba kita lihat bisa apa Ibnu” tukasku “Ingat nu, pulang sekolah ngelewatin area saya kalau ga hati-hati bisa tinggal nama sampai Sidaresmi”.
            “Awas nu, bisa dipecat dari kelas B sama ga di masukkin tim Voli dan Basket pas Porseni bulan depan”, tambah Didi yang tiba-tiba muncul.
            “Halo, iya halo maaf ini siapa ya? Tuuut…tuut….tuuuuuuut”, ejek Eka seorang siswi kelas kami yang Ibnu taksir sejak tahun lalu.
            Dunia terasa sempit bagi Ibnu saat itu. Saat itulah, akal sehat berubah menjadi akal licik. Lihatlah kelakuannya selanjutnya.
            “Eh, maaf..maaf ga sengaja ngejatuhinya”, tiba-tiba Ibnu meminta maaf. Entah pada siapa tapi yang jelas itu ia lakukan pada seorang pemain basket SMP kami. Isi pot berupa tanah dan sekam kering tiba-tiba jatuh ke kepala pemain basket tersebut. Sialnya, itulah jebakan yang pertama dan mengawali kehidupan setelahnya.
            “Kenapa nu?” tanyaku. “Wah, parah nu eh minta maaf sana ntar itu anaknya naik ke atas”, imbuhku.
            Kelas B milik kami memang tahun itu berada di lantai 2 jadi sungguh sangat mungkin melakukan banyak hal disini.
            “Eh, kamu namanya Regina ya?” Tanya Ibnu. “Maaf ya, maaf kata Adit sama salam katanya ingat ya Adit, ketua kelas 8B, bendahara OSIS, dan….”, Ibnu tiba-tiba membabi buta.
            Segera ku tutup mulutnya “Nu, gimana sih? Orang yang jatuhin kamu masa saya yang dipakai buat minta maaf”, geramku.
            “Ya dit, maaf namanya juga bercanda”, Ibnu tertawa sambil menunduk malu.
            Waktu menunjukkan pukul 5 sore dan sudah saatnya pulang. Seperti biasa kami bertiga pulang bersama, karena tujuan kami satu arah. Semoga pengumuman pemenang Senin membahagiakan kelas kami.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kombinasi Peluang

ASTER (I'M LIVING IN SCHOOL' MEMORIES INSIDE MY BODY-Part 1)

We Are a Superstar, and You?