Diospyros - Tersisih (Bukan) Berarti Yang Mati



“Tak pernah ada sebetik perangaipun seperti dia (Rasul) mengais yang tersisih, seperti julaibib pun tak pernah luput dalam relung hidupnya”
            Malam begitu pekat ditemani temaram cahaya bulan dan gemerlap bintang. Bayangkan di suatu masa kala listrik belum sekali dipatenkan dalam bentuk lampu berkilauan, dan hanya mengandalkan cahaya bulan. Saat itu mungkin kita tak bisa membayangkan, jangankan setiap malam selama berabad-abad, bahkan hanya satu jam pun ketika listrik padam, seakan hidup ini berhenti pada putaran malam. Lalu, pikiran ini melayang tentang kisah-kisah Rasulullah dan para sahabat-Nya hingga ke generasi-generasi terbaik umat (muslim) ini. Temaram malam ternyata tak menghentikan langkah mereka untuk berbuat kebaikan, hingga abadilah nama-namanya.
            Gumam dalam hati berbisik “Kenapa Allah tidak membiarkan matahari saja yang ada di malam hari? Mengapa harus bulan?”. Kita semua tahu bahwa Allah itu Maha Adil, tentunya Dia sudah menentukan proporsionalitas yang pas untuk kehidupan makhluk-Nya. Secara ilmiah kita tahu bulan hanyalah benda padat, hitam, berkawah tak beraturan bahkan  tak bercahaya, sedangkan matahari ditakdirkan Allah menjadi sumber cahaya. Namun, Allah dengan bijak-Nya mempercayakan bulan untuk hadir di malam hari, tak peduli sesingkat apapun malam. Lalu, bagaimana dengan matahari?. Allah pun dengan kuasa-Nya mempercayakan matahari untuk membantu bulan bersinar di temaram malam. Jadilah kita semua melihat dan “menganggap” skenario Allah ini sebagai fenomena menakjubkan.
            Sesuatu yang menakjubkan timbul dari hal sederhana, yakni percaya. Percaya dari Allah itu mampu membolak-balikkan hati manusia dan mengubah nasib-Nya. Hingga rasa saling percaya antar manusia. Percayalah bahwa dengan percaya itulah yang menjadi dasar setiap komunikasi, terlebih itu adalah persahabatan (ukhuwah).
Rasa percaya antar manusia akan membuat kita seperti sebuah lingkaran utuh dimana setiap garisnya tak pernah putus dan menutupi bagian dalamnya. Rasa percaya bukan soal dia punya kekurangan ataupun dia punya kelebihan. Jika kita merasa lebih bahkan lebih tinggi dari insan manapun bahkan teman kita sendiri dan mengurangi rasa percaya kita. Percayalah justru kitalah yang rendah, karena analogi apapun dan teorema apapun hingga ukuran apapun akan memberikan kita penjelasan bahwa di atas langit masih ada langit. Mungkin saat itu, rasa percaya itu sedang menguap dalam logika kita hingga yang muncul ialah “saya yang punya ide dan saya yang sanggup..just only me bukan dia dan bukan siapapun”.
Seandainya kita jumpai insan semacam itu, kabarkanlah padanya peristiwa menakjubkan di dunia ini. Bahwa rasa “saling percaya” bisa membuat keajaiban. Usia masih belia ketika Umamah (18 tahun) ditunjuk menjadi panglima perang melawan para kaum kufar Romawi timur. Siapa yang menunjuknya?. Dialah imam bagi setiap insan yakni Muhammad ibn Abdullah atau Rasulullah. Siapa yang tak kenal dia. Pemuda dan percaya merupakan bukti bahwa penunjukkan Umamah tidak salah. Kemenangan pun direbut, bayangkan sebuah Agama Samawi baru yang lahir abad-14 mengalahkan kepercayaan pagan yang mengakar kuat sejak abad ke-7. Faktor Rasulullah menjadi buktinya. Siapa yang akan menyangkal kehebatanya. Siapa yang menolak strategi jitunya. Dan siapa pula yang tak percaya dengan rasa “saling percaya” yang Rasul berikan pada Umamah.
Dengan nama sama, nun jauh setelah itu. Mehmed II atau yang biasa disebut dengan Sultan Muhammad “Al Fatih” merupakan gelarnya. Tahun 1453 memimpin sebuah pasukan besar yang konon ketika dibariskan hendak sholat Jum’at mencapai panjang 4 Km shaff-nya. Siapa dia?. Dialah sultan Turki Utsmani berusia 23 tahun, dan kehadiranya telah diramalkan oleh Rasulullah. Sejatinya, berarti Rasul telah mempercayai penaklukan Konstantinopel oleh seorang Muhammad Al-Fatih, yang bahkan secara fisik pun belum pernah melihat Rasul. Uniknya, rasa percaya itu bahkan tertuang dalam sebuah hadist sebagai “sebaik-baik pasukan dan sebaik-baik pemimpin”. Meskipun, sejak zaman Rasul sendiri, kemudian khalifah Umar ibn Khaththab, hingga khalifah Harun ar-Rasyid selalu menyerbu konstantinopel. Namun, Rasul bahkan Islam hingga umat dan Rabb-Nya mempercayakan pada seorang sultan Turki dan para pasukannya. Rasa saling percaya yang bukan main tandingannya.
Maka, ketika ada seseorang yang tak percaya pada kita, kemampuan kita, potensi kita, hingga ide kita. Katakanlah “Telah banyak berlalu orang seperti ini, dan tak perlu sedih ini bukan masalah dia kurang percaya atau apapun tapi, percaya kita memiliki apa yang dia tak pernah miliki dan suatu saat hendak dia miliki”. Lihatlah, siapa Umamah dibandingkan sosok Abu bakar Ash-shiddiq, Umar ibn Khaththab, hingga pedang Allah Khalid ibn Walid. Justru, karena perintah Rasul-lah dia menjadi yang terdepan menggertak musuh kufar. Tengoklah siapa sangka Mehmed II, pemuda Turki yang di usia 17 tahunya pernah diusir dari kerajaan dan paling bandel tak pernah mau diajarkan fiqh, justru karena hadist Rasul dan kematian ayahnya dia menjadi orang terdepan yang membuka gerbang Konstantinopel.
Janganlah sombong, perjalanan hidup ini masih jauh entah di dunia maupun setelahnya. Tak ada yang mengajari kita kesombongan, karena sejatinya kita pun masih merasa kurang dan kurang. Bukankah kekurangan itu tanda ketidak mampuan dalam mencukupinya. Dan ketidakcukupan tak layak disandingkan dengan kemapanan untuk berevolusi menjadi sombong.
Janganlah pula selalu henyak terdiam ketika ada masalah dalam hidup dan merasa bahwa sahabat kita takkan pernah mampu mengatasinya. Memang, setiap insan ditimpa cobaan. Tapi, lihatlah sebuah rumus fisika sederhana bahwa tekanan (P=Preassure) berbanding lurus dengan gaya (F=Force) dan berbanding terbalik dengan luas bidang (A). Maka, sejatinya ketika kita cemberut, diam, sombong, dan menganggap rendah sahabat kita. Saat itulah, kita mengurangi luas bidang. Artinya dengan gaya yang sama dan luas bidang yang sedikit, maka tekanan untuk menghadapi tantangan akan meningkat. Bandingkan jika kita senyum, welcome, menganggap bahwa sahabat kita mampu atau setidaknya sebagai tempat cerita dan mengurangi beban. Maka, lihatlah luas bidang itu membesar karena ada dua pundak yang sama-sama percaya, saling membahu, gotong royong untuk memperkecil tekanan dengan gaya yang justru sama.
Dengarlah wahai sahabat-sahabatku, belajarlah dari kegagalan, nikmatilah prosesnya, pahami kehendak-Nya. Percayalah pada sahabat di samping kiri-kanan kita, bahwa saling percaya itu dapat membuat sebuah hal menakjubkan meski setiap insan memiliki keterbatasanya sendiri. Pernahkah kita mencontek?. Hampir insan yang bersekolah pasti pernah. Pertanyaanya ketika dalam situasi terjepit, waktu yang semakin menggilas tanpa ampun. Lalu, akhirnya kita melihat kanan-kiri hingga kita bertanya pada sahabat kita. “Apa jawaban nomor sekian dan sekian?”. Berdesislah suara nan lembut “Jawabanya begini...begitu..!”. Lihatlah dengan bahasa sederhana yang terbilang dilarang saat ujian saja kita percaya pada sahabat kita. Entah benar atau tidak jawaban itu. Yang terpenting tertulis sempurna dalam lembar jawab. Sekarang ketika saat kita dalam komunitas atau tempat kerja. Niat yang jelas dan ukuran angka gaji yang mungkin sama dengan keilmuan yang sama. Masihkah kita tidak percaya pada sahabat kita. Bersama melalui bangku SD,SMP,SMA selama 12 tahun ditambah IPK yang menjadi bukti pembenaran status “Bachelor atau Sarjana” dibumbui lagi dengan pengetahuan teknis saat skripsi. Elokkah kita tak percaya pada semua kerja keras sahabat kita?.
Berikanlah rasa saling percaya sesama sahabat. Ketika merasa tersaingi, janganlah kemudian cemberut bermuka masam. Tapi, simaklah kisah Abu Bakar dan ‘Umar. Meski selalu kalah, namun ‘Umar selalu menjadi penyeimbang di saat Abu Bakar lelah dan merasa perlu sandaran diskusi setelah Rasul wafat. Begitupun Abu Bakar, meskipun dikisahkan dalam berbagai riwayat selalu menang atas ‘Umar. Tak secuil huruf pun yang menulis dalam semua riwayat bahwa Abu Bakar bersifat jumawa bahkan mempercayakan ‘Umar menjadi penasihat kekhalifahan. Inilah murid-murid Rasulullah. Terlebih kita. Yang jelas-jelas bukan didikan Rasulullah langsung dengan kapasitas diri hanya sekian persen dari angka 100%. Sudah selayaknya kita saling bahu, saling pikul, dan saling percaya pada ide, potensi, dan kemampuan sahabat kita. Bukankah berkat ide ‘Umar pula, maka zakat kembali tegak di tanah Islam?.
Percaya itu mahal. Mudah dibuat, namun sulit dibeli. Tak mudah didapat tapi, dapat menyakiti hati setiap insan. Percaya itu hidayah, anugerah, nikmat, dan rahmat. Bersyukurlah pada Allah saat ada sahabat yang mempercayakan ide, potensi, dan kemampuanya kepada seorang sahabat lainnya. Karena, tak jarang Allah menghinakan mereka yang selalu su’udzan pada sesama sahabat. Mereka yang tersisih karena ketidak percayaan seorang sahabat, bukanlah mereka yang kemudian mati dan mengendap dengan tanah. Merekalah yang hidup dan percaya ada Dzat yang dapat menolong mereka, yakni Allah. Mereka percaya pada-Nya bahwa tiada guna percaya pada yang tak dapat dipercaya meski segenap rasa “percaya” diberikan padanya. Julaibib, seorang tak bernasab, hitam nan kotor lebih memilih masuk ke dalam Islam, daripada agama nenek moyangnya. Karena, Julaibib percaya hanya Islam, Allah, Rasul, dan para pemeluknya yang tetap akan percaya bahwa Julaibib akan berjasa pada dunia ini. Hidupnya, kematianya, hingga kesendirianya adalah kisah percaya dan saling mempercayai. Hingga Rasul meyakinkan ‘Umar tentang sebuah nilai percaya, ketika ‘Umar memasuki Islam. “Orang yang di masa lalu menjadi seorang besar, pemuka, panglima perang dan sebagainya maka dengan Islam mereka akan tetap besar seperti dahulu”. Dan ditutup dengan niat yang sempurna nan paripurna. Bahwa semua rasa saling percaya ini yang kelak akan menjadi keajaiban bukan untuk dipamerkan pada sesama yang tak mau percaya pada kemampuan diri. Namun, untuk dibagikan pada mereka yang mau berbagi meski tersisih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kombinasi Peluang

ASTER (I'M LIVING IN SCHOOL' MEMORIES INSIDE MY BODY-Part 1)

We Are a Superstar, and You?