Dendelion Part 3 (Jembatan Masa Depan)



“Jika dirunut dalam hitungan tahun dengan kelipatannya, 10 tahun ialah waktu penanaman budaya, 100 tahun ialah waktu penguatan budaya, hingga 1000 tahun terbentuknya imperium peradaban (Jamaludin Al-Afghani)”

“In, ayo buat karya tulis AMFIBI buat di ITS?”, tanya heru padanya dalam sebuah kesempatan. “Ya, boleh apa yang mau kita angkat?”, dia pun menimpali jawaban heru. Saat yang bersamaan muncullah Toibullah Siregar “Mas in, angkat tema tentang masyarakat aja sama kaya karya tulis mapres saya”. Segar. Ide yang begitu fundamental, namun sangat efektif untuk masalah kekinian. Siang itupun, mereka bertiga akhirnya membuat abstraksi dari karya tulis tersebut.
.....................................
Mimpi saudara-saudaraku ini sederhana, ingin merasakan atmosfer kompetisi di tingkat nasional dan tentunya jalan-jalan mengelilingi Indonesia ialah salah satu sensasi tersendiri. Kini, masanya telah terlewati namun, seperti Dendelion yang menebarkan biji-bijinya di saat memasuki fase generatif. Tapi, kita akan lihat apa yang akan terjadi pada dendelion-dendelion kecil yang baru tumbuh tersebut.
....................................
Saya memberikan entry point utama pada part 3 ini, bukan semata ini menjadi sebuah penutup dari kisah Dendelion-dendelion kecil tadi melainkan refleksi masa depan kampus. Terlalu dini memang, tapi melihat gelagat yang terjadi secara continuum akan sebuah kurva, maka boleh dikata kelompok ketiga ini di suatu titik akan bertemu dengan kawan saingannya. Era imperium kuno dua kelompok besar: kelompok IP oriented dan UKM oriented, telah berlalu ditandai dengan rancangan perubahan kurikulum 2013, rencana peraturan beban studi S1 5 tahun, rencana beban studi S2 4 tahun, penghapusan beberapa sistem alih jenjang, dan realita menurunya grafik lulus studi maksimal 7-8 tahun. Mungkin, masih ada beberapa orang ‘kuno’ yang masih tergabung dalam 2 kelompok tadi, tapi jumlah mereka kalah oleh arus ‘globalisasi’ versi kampus.
                Di sisi lain, kelompok ketiga akan berdampingan dengan segolongan orang yang saya namakan kelompok strukturis. Saya tidak menyebut mutlak kehadiran dua kelompok inilah yang menandai era keemasan kampus. Tidak seperti Francis Fukuyama dalam The Last Man yang menyatakan bahwa di akhir era dunia hanya akan ada 2 kelompok yakni Demokratis dan Liberal-Kapitalis. Hal ini fleksibel saja. Kelompok strukturis ini, berasal dari kata struktur (yang merujuk pada sebuah tata urutan dalam sebuah organisasi). Lalu, apa bedanya dengan kelompok UKM oriented?. Perbedaan ini terlihat, dalam ‘PROSES’. Mahasiswa, pada umumnya akan menilai seseorang berjasa di sebuah UKM/Lembaga/Organisasi jika ability yang orang tersebut miliki berbanding lurus dengan jenjang amanah dalam organisasi tersebut. Proses mendapatkan amanah yang lebih tinggi diraih seiring bertambahnya kemampuan orang, dan waktu. Artinya kelompok strukturis ini mencoba melawan teorema tersebut. Bagi mereka, waktu bukanlah penghambat seseorang untuk mencapai top leader, dan ability dibuat dari sebuah proses mencari popularitas, seakan kerja-kerja organisasi dilakukan olehnya sendiri. The main statement, dalam kelompok ini ialah peran popularitas dan media.
                Refleksi paling kental, jika kita lihat pemimpin kita di tataran negara. Tak banyak, yang dapat menyelesaikan ‘Studi’ nya dalam mengabdi. Ada yang baru 1 tahun menjabat gubernur kemudian, merasa ‘dicalonkan’ rakyat langsung menjadi ‘Presiden’. Ada pula yang merasa masih muda dan kemudian Walk Out dari DPR menuju kantor Gubernur di provinsi di pulau Jawa hanya dalam 2 tahun menjabat. Semuanya alasannya sama ‘dicalonkan’ oleh rakyat. Padahal, dalam zaman kegemilangan Islam, ketika Khalifah di baiat perlu ada ‘pengakuan’ baik dari pendukung, ahli ilmu, dan penentangnya sekaligus. Lah, ini tiba-tiba mengatakan ‘rakyat’ butuh ‘saya’, ‘saya’ lebih dibutuhkan di tingkat nasional. Mereka semua itu, ibarat mahasiswa belum lengkap memenuhi beban ‘studi’ nya di suatu jenjang.
                Nampaknya, kita harus kembali ke kampus. Oke, kelompok strukturis ini akan membuat semacam pengalihan opini, pencitraan, dan pengemasn akan ke-Aku-anya. Bahkan, secara komprehensif, mereka pun memiliki IP/K yang tak main-main, mungkin 3 – 4. Inilah, senjata yang massif disebarluaskan, mereka tidak akan berbicara karya, mereka pun tak akan berbicara UKM, mereka hanya berbicara berdasarkan ‘Sepengetahuannya/sepengalamannya di UKM......’. Kelompok ini, lahir karena era globalisasi pula, mereka tak mau kehidupan akademiknya terganggu oleh rutinitas UKM, tapi mereka sadar pula bahwa hanya UKM lah yang akan menolong mereka di kehidupan pasca-kampus. Akhirnya, simple method buat konflik ini ialah bagaimana agar tetap exist di UKM, tapi akademik go ahead. SK ‘tak beguna’ dibuatnya, mengaku lebih pantas menjadi Dewan Pertimbangan Organisasi (DPO) padahal ikut UKM saja hanya menumpang nama, dan atas prestasinya saja secara akademik yang buat mereka merasa ‘membangun’ UKM tersebut. Nihil, kerja nya, tapi ingin dianggap. Satu kelebihan mereka, merekalah ‘Penguasa’ yang berada di tataran lembaga tinggi kampus, entah Eksekutif, Legislatif, ataupun Pimpinan di UKM sendiri. Mereka pun membuat sistem barrier antara aktivitasnya dengan pihak dekanat, meskipun pihak dekanat tidak sama sekali menyuruh mereka seperti itu. Hal-hal yang dapat di access oleh banyak pihak dan dapat didiskusikan seolah menjadi tabu dan tak lazim serta seolah menjadi fatwa dekanat melalui sistem barrier yang mereka buat.
                Kelompok ketiga dan strukturis ini akan selalu bertemu. Lain dulu, lain pula sekarang. Dahulu mungkin saling mengejek antara kelompok mahasiswa IP oriented dan UKM, tak terelakan. Kini, kedua kelompok ini bermain dalam tataran bukan untuk saling mengejek, tapi saling ‘Pembuktian’. Kelompok ketiga dengan kebebasan berkreasinya (baik karya tulis, riset, ataupun wirausaha), dan kelompok strukturis dengan pengakuan ke-Aku-anya di media. Yang menilai??!. Just a while, setiap mahasiswa akan menilainya. Bedanya, dulu mahasiswa menilai dari lamanya karier di kampus, deretan nilai di KHS. Tapi, kini semuanya tak ada bedanya antara kedua kelompok ketiga dan strukturis tadi. Mahasiswa atau dosen tak sembarang menilai IPK kelompok ketiga kecil 2,5 -  2,8, jika memang ternyata dia pernah ikut seminar internasional, publikasi proseding, dan menghasilkan uang via wirausaha. Ataupun sembrono menilai IPK kelompok strukturis kecil, jika mereka beralasan di ‘amanah’ kan di Eksekutif jadi presiden, kepala PSDM, Kaderisasi, Ristek, di Legislatif, atau di UKM.
                Masa depan kampus, dalam lingkaran ke-mahasiswaan dalam dua dekade kedepan akan bergulir seperti ini. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, mahasiswa ‘penilai’ harus jeli menangkap perbedaan kelompok ketiga dan strukturis. Saya menganggap ini sebuah jembatan dimana kedua kelompok tadi saling beradu sprint untuk menjadi pemenang. Dimana, perlu ada pemahaman akan beberapa hal, untuk kedua kelompok baik kelompok ketiga dan strukturis. Pertama, setiap kebebasan dalam berkarya, berkreasi, dan berimajinasi memiliki batas, tak semuanya mesti di ‘sudut’ kan dalam sebuah kepingan uang melainkan bagaimana untuk menghasilkan kesinambungan dalam batasan berkreasi tersebut. Mungkin kelompok ketiga pernah membuat agenda mawapres school, nah permasalahannya bukan pada tataran berapa banyak mawapres yang dihasilkan dari program tersebut. Tapi, layakkah program tersebut untuk digulirkan ditiap generasinya, sanggupkah?. Kedua, walaupun mahasiswa menilai ability management mahasiswa lain dari perannya di organisasi. Sadarilah, kelompok strukturis bahwa amanah itu adalah pertanggung jawaban, yang penilaiannya berdasarkan orang banyak, bukan one or two persons. Ketiga, meskipun pihak dekanat menjadi penilai tapi, penilai terakhir ialah Allah Subhanallahu Wa Ta’ala artinya niat untuk berbuat lebih dan menjadi ‘Sosok’ di kampus diniatkan untuk-Nya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kombinasi Peluang

ASTER (I'M LIVING IN SCHOOL' MEMORIES INSIDE MY BODY-Part 1)

We Are a Superstar, and You?