Kuas Rindu
Kuas
Rindu
Hari semakin
kelabu di penghujung musim penghujan di bulan September, anomali yang begitu
aneh saat kau coba mengulang langkah – langkah kecilmu. Tak ada yang
mempercayaimu di tengah gempitanya tudingan yang temanmu lancarkan, kau hanya
tertunduk lesu bahkan tak mampu tertawa lagi. Saat yang begitu menyempitkan dan
menyesakkan dada, tak ubahnya hukuman bagi Ka’ab bin Malik dari Rasul tercinta,
akibat kejujurannya. Kali ini kau coba melukis kembali jejak yang sempat
menghilang, namun entah mengapa kau mengukirnya bersama seseorang yang tak
seharusnya berada di sampingmu karena, kau masih seorang lajang. Semburat
pelangi Illahi yang biasa berpendar di penghujung sore saat hujan turun
nampaknya tak membuat hatimu berpaling dari orang tersebut, hingga kau meninggalkan
sahabat terbaikmu. Senja demi senja kau lewati hingga Allah menggantungkan
bulan di atas langit kota Satria, kau tetap saja merasa hidupmu hanya berisi
kau dan orang tersebut.
Elegi
pun menyeruak seiring pola pikir kacaumu hingga satu persatu temanmu di kostan,
organisasi, dan dimanapun kehilangan kepercayaan kepadamu. You’re nothing, sindrom dari somebody
to nobody melanda jiwamu.
Layaknya hujan yang merindukan kuas pelangi di langit untuk menghibur tangis di
langit, kau pun mencari seribu alasan tuk menemukan temanmu kembali, hingga
akhirnya ada dua orang yang mempercayaimu di tengah badai kekeringan jiwa.
Bulan pun berganti, meski kau tetap bersama orang tersebut tapi, saat itu kau seakan
memiliki legitimasi pembenaran perbuatan seenaknya dirimu ketika berteman
dengan dua orang itu. Ya, dua orang
yang memiliki nama di organisasi yang
kau tempati. Allah memang Maha Pembolak-balik Hati Hamba-Nya, dan seperti
sebuah cerita klasik dan firman Illahi yang ditulis dalam Al-Qur’an ketika
orang dalam kesulitan, maka lebih cepat dia mengingat Rabb-nya dibandingkan
dalam kesenangan. Kami, sebagai dua orang yang mempercayaimu saat itu memang
tak menjustifikasimu dengan ayat Illahi, karena kami takut seandainya kami
salah.
Kelas
di Semester ganjil pun segera berakhir di bulan Desember, siklus pun dimulai
semua organisasi, yakni musyawarah anggota. Hal yang wajar menurut kedua
temanmu jika kau dicalonkan menjadi calon ketua umum, karena kepemahamanmu
secara teoritis lebih dibandingkan calon lainnya. Jangan sampai kita memilih orang yang akan mengotori jalan ini,
suara yang hampir diserukan oleh semua perempuan di ruangan tersebut di tengah
hiruk pikuk perbedaan pendapat. Desember yang begitu kelabu, entah emosi
ataukah elegi yang membuatmu merasa sedih hingga memberi pesan singkat pada
kedua temanmu yang kau percayai bahwa, sekarang kau telah berubah dan tak lagi
mengotori khittah organisasi mu.
Suara beradu suara dan akhirnya kau harus mengalah pada semua kenyataan yang
pernah kau berbuat. Heyyy, tapi
tunggu dulu kau masih punya mimpi dan kau masih bisa berubah, dan apakah semua
perubahan itu harus saat kau menjadi pemimpin, meskipun itu penting tapi
ingatkah kau bahwa kita ini ialah pemimpin bagi diri kita sendiri. Hingga yang
terpenting kau masih punya hati tuk mendekatkan diri pada Allah Yang Maha Kuasa.
Tak
ada yang berubah, hingga nampaknya kisah itu kau tutup dan nampaknya kau memang
berubah. Kami, sebagai temanmu sangat bahagia hingga kau masih merasakan
nikmatnya amanah di organisasi tersebut menjadi seorang dibawah pimpinan
langsung. Tempat yang menurut kami
spesial dan sesuai dengan keahlianmu, hingga pengumuman itu diberitahukan
pada semua anggota yang mendaftar menjadi pengurus.
..................................................................................
Kuas-kuas
itu kini mengambil warna lain tuk menghapus penghujan sedikit demi sedikit dari
langit. Allah Maha Pembolak Balik Hati, masjid yang dulu nampak jejak-jejak
kaki dan sujudmu kini terhapus oleh tebalnya debu di siang hari. Kajian-kajian
yang dulu menyediakan satu tempat duduk spesial disamping kami, kini begitu
rapat hingga kau tak nampak lagi diantara jama’ah. Baju koko yang kau cuci
biasanya seminggu sekali kau cuci untuk menghilangkan hadas dan najis, kini tersimpat
lekat di sebuah lemari berpengharum. Gemuruh adzan yang bersahutan seakan bagai
lolongan srigala yang membuatmu takut tak keluar dari kamarmu meskipun sekian
orang telah mengetuk lembut dan keras pintu kamarmu.
Pendar
cahaya itu mulai tak nampak di wajahmu yang berseri mungkin, karena wudhumu
yang mulai lenyap dan tak diperbaharui lagi. Kami, memang bukanlah orang yang
sempurna hingga kami merasa bersalah saat perubahan itu datang satu persatu
pada dirimu. Tapi, kami takut seandainya ada hal yang tak kau bayangkan
sebelumnya terjadi pada dirimu, karena kami pun memiliki masa lalu dan kenapa
kau sekarang mengerjakan perbuatan yang kami pun pernah lakukan tapi, di masa
lalu padahal kau punya masa depan sama seperti kami.
Malam
semakin pekat hanya kilauan cahaya kunang-kunang yang melintas di ruangan
tengah kostan mu. Kami berfikir kau sudah tidur waktu itu hingga kami kunci
pintu dan mematikan lampu di ruangan tengah. Kreeeek, terdengar suara pintu yang terbuka perlahan dan esok
paginya kami temukan pintu yang tak terkunci saat hendak menuju masjid solat
subuh sedang kau masih menggenggam bantal mu. Ahh apa lagi ini, keluhnya temanmu saat membangunkan dirimu.
Kemarau semakin panas terlebih saat memasuki pukul 12.00 hingga jam 14.00,
sebah qiyas pada kau yang kami
rindukan seperti dahulu kala, dan kini kau mulai mengenal sisi lain dunia di
remangnya lampu jalan malam bersama temanmu dan teman kami pula yang baru saja
mengenal keremajaannya. BODOH, teriak
temanmu saat mengetahui kau pulang lebih dari jam 00.30 malam, kau seakan
mengulangi perjalanan masa lalu bodoh yang pernah dilakukan temanmu yang jauh
lebih lama mengenal gelapnya dunia malam itu.
....................................................................................................
Adzan demi adzan dan ditutup dengan
iqomah sebagai pertanda mulainya solat berjama’ah di masjid. Nampak begitu sepi
sudah sangat lama kami berjalan bertiga menuju surau, dan sudah begitu lama
pula kau tak ikut berjalan bersama kami. Kami, merindukan “kuas-kuas” Mu Ya
Rabbku yang mampu melukis indahnya kembali persahabatan. Heyy,, kawan mungkin kau tak mendengarnya karena tulisan ini
hanyalah file bisu yang diketik dengan gemuruh kerinduan dari kami semua. Heyy, kawan kau masih ingatkah saat kau
masih berlari mengejar-ngejar kami untuk ikut bersama tahsin, kajian, mabit, tasqif,
bahkan solat berjama’ah. Kawan janganlah kau pandangi kami sebagai orang yang
sangat sempurna, karena kami pun butuh kau sebagai penyempurna pelangi kostan
kita layaknya jingga yang membutuhkan merah dan kuning tuk membuatnya.
Persahabatan itu bukanlah seperti tebu yang habis manis sepah dibuang, bahkan
kita merasakan manis dan masam bersama. Persahabatan itu bukanlah seperti
kepompong sutra, yang ingin dipintal lalu di buang, bahkan kita pernah merajut
asa bersama. Kami hanya bisa berdo’a semoga entah suatu hari nanti kau
menemukan titik dimana, kita bisa berjalan bersama lagi karena, tak ada manusia
yang sempurna. Kami bukanlah Rasul tapi, Rasul memerintahkan umatnya untuk
tetap mengingatkan sesamanya dalam kebenaran dan kesabaran, layaknya Rasulullah
yang tetap memberi senyuman pada Abu Jahl meskipun, dibalas acungan pedang.
Kuas rindu yang akan menggores setiap kerinduan masa lalu pada kita dan
kenangan. Maafkan kami, kamanku jika selama kami bersamamu membuat kau sesak
dan tak nyaman dengan kehidupan barumu, tapi kami hanya rindu pada sekilas
bayangan masa lalu kami akan dirimu.
Wa’allahu alam
Wa’allahu alam
“Bingkisan
hati teruntuk sebuah kerinduan pada saudara kami, ampuni kami Ya Rabb Yang Maha
Pengampun, atas kekeliruan hati kami dan mungkin rusaknya ruhiyah ini dalam
mengajak saudara kami mengajak ke masjid”
kisah yg menarik :)
BalasHapussepertinya dia sekarang sangat dirindu sekali yaa
iya...
Hapusterkadang kerinduan itu membuat masa lalu seperti hari ini, tapi melihat hari ini seakan kelabu sekali bagi kami
setiap orang bisa berubah ^_^