Postingan

Magnolia

Magnolia “Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (QS. Al-Mulk : 14) Semua yang berawal pasti memiliki akhir, segala yang tercipta pasti memiliki alasan. Ini tentang sifat ke-Maha Lembutan-Nya yang menjangkau segala domain kehidupan. Lebih tipis dari kulitan luar electron yang mengelilingi inti atom, mungkin lebih tipis lagi. Lebih lembut dari sutra yang ditenun dan bahkan lebih lembut lagi. Karena terlalu lembutnya, sulaman takdir merangkai kolase-kolase yang akan menjadi bingkai – bingkai kehidupan yang dinamakan hari ini. Marah, kesal, benci, emosi, depresi, hingga lebih baik mati ialah jalan yang mesti ditempuh bukan sebagai keharusan. Melainkan sebagai penebus kesalahan, tanpa ke-semuanya takkan ada tenang, damai, harap, pinta, dan cinta. Mereka dicipta oleh Rabb bukan untuk menjadi pelekat raga terlebih sukma, mereka hanyalah pemantik makna untuk tetap menengadahkan asa dalam do’a. Pu

Cerita Klorofil

Suhu mulai semakin menurun, rona daun mulai melepaskan hijaunya menampakkan keindahan sementaranya. Seakan menjadi pertunjukan terakhir mereka sebelum angin menyapu ikatan kuatnya dengan ranting-ranting. Adakah semua itu abadi dan kekal, ternyata tidak lah jawabnya. Warna-warni dedaunan ini menyentuh kalbu memaksa akal untuk merunduk pada hati. Hati yang mencoba mendengungkan gemuruh dari Rabb-nya. Memanglah manusia, kehidupanya berharap seperti dedaunan vegetasi pinus yang selalu hijau "evergreen" para peneliti menyebutnya. Pengharapan dalam semua kondisi prima, dalam semua level tertinggi setiap helaan nafasnya. Validitas adalah komoditas yang menjadi poin teratas dalam dunia tanpa batas. Hingga kita bagaikan pesulap dadakan yang mampu mengolah realita menjadi angan dan idaman. Seakan lupa, hanya sedikit pepohonan yang mampu selalu hijau diterpa teriknya matahari dan digigit taringnya salju. Mereka yang tetap hijau umumnya berada di ketinggian dan kesejukan lingkungan sekit

ASTER (TAKE THE SPIRIT FROM PAST - Part 2) "Puisi Bunga Robinia"

Jika awan dapat menari Biarlah dedaunan turut mengekornya Namun jika karenanya matahari tertutup pesonanya Hendaklah sejenak riuh pikuk tersela Bau tanah memanggil angin Ia-nya ingin dibantu melewati tembok-tembok bisu Melintasi perdu semak Menawarkan kesegaran nafas bumi Gagak terbang turun mengabarkan pada sekawananya Bahwa musim walnut akan tiba Ranting-ranting mulai rebah diterpa angin Dibarengi dengan dedaunan yang menguning Gugur, seperti orang menamainya musim gugur Ada yang mesti direlakan jatuh  Harus ada yang direlakan diterbangkan angin Entah jauh atau dekat Inilah siklus Tanpa-nya, takkan muncul semerbak aroma Robinia eropa Sesuatu yang telah tertulis, meski dipegang erat Akan jatuh, meski bukan untuk hilang Tetapi untuk melintas batas menyeruak wewangian seperti bunga Robinia

Letter

Gambar
  Sejenak aku berhenti di sebuah postingan anonim dari akun Instagram yang berujar bahwa, "takdir terbaik ialah apa yang sedang kita jalani sekarang". Titik demi titik perhentian mulai ku rajut dan pintal supaya tidak berurai berceceran. Fase dimana ku lihat gugusan langit tak bertepi dan birunya siang tak berujung menengadah hujan yang turun, membasahi gersangnya lembah. Itulah titik rendah dalam usia 20-an yang ku alami. Hancur, remuk, bahkan tersapu semua idealisme hidup dan luar biasanya semuanya terhempas oleh sesuatu hal yang betul-betul ku inginkan. "Perkara seorang muslim yang mengagumkan, ketika ditempa ujian maka ia bersabar dan ketika diberikan nikmat maka ia bersyukur" begitulah sabda Rasulullah SAW. Sabar adalah pelajaran yang tersulit karena kata tak semudah makna, apalagi seindah nyata. Bagaimana bisa, sesuatu yang diperjuangkan dan digeluti tega menguliti semua identitas diri. Aku berada di titik itu, di nadir sebuah penantian keputusan apakah ku har

Separation

Gambar
Setidaknya kalau aku bodoh, aku tak perlu capek memikirkan orang lain, hidup dan perkembangan mereka, terlebih "menganggap" mereka itu adalah pesaing dalam lomba balap lari di hidup ini. Kebodohan nampak sukar ku terima, tapi ayolah bukanya menganggap diri sendiri ialah lawan dalam kehidupan ini adalah satu langkah menuju kebodohan. Biarkan saja, seluruh dunia ini bergerak dan aku hanya merangkak toh yang jamin rezeki bukan dunia ini tapi pemilik dunia ini, Allah.  Mereka bebas hidup dengan pilihan tantanganya masing-masing, aku pun tak ada beban memikirkan pilihan mereka. Semua akan indah dalam hiasan warna masing-masing. Hanya pikiranku saja yang liar tak mau bodoh!! realita tak bisa dipisahkan dengan angan, obat tak bisa dipisahkan dari racun!! kan selalu ada manusia terlahir di bumi untuk menggantikanku, akan selalu ada manusia di bumi yang mencemoohku bahkan untuk hal yang tak ku pahami. Bodoh! mengapa itu jadi solusi? Karena dengan itu aku akan abai dengan cemoohan mere

Bodoh, Terima Saja!

Gambar
Ah, selalu saja berputar dan berputar di kebingungan. Ingin ku tinju kaca besar di hadapan imajinasi hidup. Bodoh, kenapa tidak bisa menerima saja kenyataan yang mudah ini dibanding mengkhayal yang terlalu indah dan memakan angin mimpi yang tidak akan membuat perut kenyang. Lakukan saja, apa yang semestinya dilakukan bahkan handphone ku pun terasa menjadi musuh dalam kenyataan yang seharusnya dilempar saja ke dasar lantai dormitori. Kembalikan akal sehat dan meminta diriku untuk buka mata dan menampar diri. Ya, tampar bila mampu melompat ke jurang kenyataan jauh lebih indah untuk mengembalikan kesadaran diri dibanding tenggelam dalam laut impian tipuan.  Ayo tata kembali diri, benahi nurani dan ruhani, jauhkan imaji yang terlalu tinggi, lihatlah dalam hati renungkan kebodohan yang bisa diuji. Hingga akhirnya Tuhan sadarkan sepenuh hati, matilah untuk hidup imaji dan hiduplah untuk apa yang mampu dilakukan hari ini. Lepas, buang, dan injak semua kebusukan hati yang gosong karena melihat

Tulisan Kebodohan ke-1

Gambar
Jurnal harian pertamaku, 24 Maret 2024. Ku kira semudah menulis biasa ternyata, memikirkan untuk menulis saja sulitnya keterlaluan. Tapi, entahlah kenapa menulis sudah ditakdirkan oleh Allah melekat padaku. Payah!! payah sekali, keterlaluan. Memaksa diri 5 menit saja menulis bebas, sulitnya tak terelakkan. Distraksi yang terlalu banyak, jangankan ide ataupun analisis. Semangatpun kadang redup hingga tenggelam dalam arus sosial media. Menyedihkan!! diusia yang sudah kelewat 30 tahunan ini, masa tak bisa jaga konsistensi. Angan selalu ditinggikan, pikiran selalu diangkasakan tapi usaha dikesampingkan. Saat hajat belum terkabul, hidup langsung patah seperti kayu lapuk, busuk, yang mudah sirna bahkan oleh rayap kecil. Ah, Sayang sekali hidupmu ini!! Sudah meregang hampir tewas saat belum tumbuh, dicekam sesuatu yang sudah terlewati dan ditakuti oleh sesuatu yang belum tentu datang. Pun jika datang, aku sudah terkapar berlumuran impian yang keluar dari kepala keras ini.  Masa hanya segini s