Letter

 


Sejenak aku berhenti di sebuah postingan anonim dari akun Instagram yang berujar bahwa, "takdir terbaik ialah apa yang sedang kita jalani sekarang". Titik demi titik perhentian mulai ku rajut dan pintal supaya tidak berurai berceceran. Fase dimana ku lihat gugusan langit tak bertepi dan birunya siang tak berujung menengadah hujan yang turun, membasahi gersangnya lembah. Itulah titik rendah dalam usia 20-an yang ku alami. Hancur, remuk, bahkan tersapu semua idealisme hidup dan luar biasanya semuanya terhempas oleh sesuatu hal yang betul-betul ku inginkan.

"Perkara seorang muslim yang mengagumkan, ketika ditempa ujian maka ia bersabar dan ketika diberikan nikmat maka ia bersyukur" begitulah sabda Rasulullah SAW. Sabar adalah pelajaran yang tersulit karena kata tak semudah makna, apalagi seindah nyata. Bagaimana bisa, sesuatu yang diperjuangkan dan digeluti tega menguliti semua identitas diri. Aku berada di titik itu, di nadir sebuah penantian keputusan apakah ku harus lepaskan atau genggam erat.

"Hikmah ialah ekskalasi tertinggi dari sebuah kejadian", begitulah saduran dari ceramah seorang ustadz yang ku dengar. Hikmah datang dari benturan keras realita, fakta terhadap asa. Hikmah datang bukan sekali melainkan berkali-kali dari setiap naik dan turunya hidup. Tertegun, termenung, itulah 9 tahun lalu, bahkan untuk berjalan saja rasanya selalu ada lirikan dan bisikan kegagalan. Lalu dimanakah hendak ku cari hikmah itu jika tuk berjalan saja qalbu ini terkekang. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kombinasi Peluang

ASTER (I'M LIVING IN SCHOOL' MEMORIES INSIDE MY BODY-Part 1)

We Are a Superstar, and You?