Fragmen Rasa - Melerai Validasi
Tak apa jika ini disebut pelarian. Berbondong-bondong pesan Whatsapp menjejali handphone-ku yang baru saja tersambung Wifi. Pesan-pesan tentang sebuah wacana reuni klasik yang selalu saja mengisi obrolan-obrolan intermezzo. Tapi begitulah memori, ingin selalu diulang meskipun kemustahilan ialah titik akhir realisasinya. Semua terasa begitu indah dan ku ingin memudarkanya bukan karena gambaran kanvas yang dilukis jelek melainkan karena itu terlalu berharga sebaiknya kanvas itu sudah diletakan dalam kotak pandora terkunci.
Awalnya ku pikir ada baiknya untuk berpartisipasi dalam aliran waktu lampau, tetapi rasanya agak aneh saat distraksi-distraksi pencapaian diri adalah hidangan utama di dalamnya. Pelarian ku bukanlah untuk hal - hal yang mesti dibanggakan, jalan-jalan setapak dan awan-awan yang dibelah oleh sayap pesawat ribuan mil jauhnya bukanlah untuk sebuah validasi. Ku hanya ingin menepi kan perahu dan awak-awaknya, menjauhkan dari badai yang berkecamuk di tepian pulau sana, hingga suatu kelak berusaha untuk membantu penumpang-penumpang lain.
Oportunis, egois, tak peduli, ataupun sarkasme lain biarlah tertuju pada pemuda berbadan kecil ini. Memahami orang lain itu memang sulit, ku memang tak pandai jadi lebih baik melakukan yang terbaik dan menenggelamkan diri dalam realistis berbalut kerja cerdas dan keras. Ku tak ingin lagi memaksa bagaimana orang lain mesti harus berfikir, berargumen, bahkan berjalan. Dewasalah, setidaknya aku pun masih mencoba menjalani proses pendewasaan ini.
Bukan terbentur, melainkan memukul dengan teratur dan terukur semua harga diri dan potensi yang Illahi berikan. Ku bukanlah lagi lelaki dahulu yang berkembang dari pujian pujian kehidupan dan bunga dari tanaman angan angan. Hiduplah, damailah diri dalam keyakinan pada-Nya dengan penuh entah itu caci, puji, hingga maki dari manusia hanyalah sebuah nyanyian pengiring jalan dalam perahu yang menerjang lautan menuju daratan baru hidup.
Memerah hingga sempurna dedaunan di puncak musim gugur, itulah alasan mengapa baiknya ketidak pedulian pada guncangan-guncangan ego mesti dituntaskan hingga akhir. Sekuat mungkin hingga memerah seperti dedaunan yang menyempurnakan siklus hidupnya di akhir vegetasi. Maafkan diri, kau bukan untuk alasan mengakui semua kemampuan dan diri, kau hanyalah sebuah anugerah dari Rabbi sebagai sebuah alasan untuk menyandarkan hal baik pada-Nya.
Komentar
Posting Komentar