Surat Untuk Ishaq - 5 Miracle Days from Ramadhan 1441 Hijriyah

 

Surat Untuk Ishaq - 5 Miracle Days from Ramadhan 1441 Hijriyah



 

Minggu, 26 April 2020 jatuh tepat pada 3 Ramadhan 1441 Hijriyah yang menandai awal hari-hari saya dan keluarga di sebuah flat sederhana di dormitori milik Poznan University of Life Sciences (PULS). Alhamdulillah, di usia kehamilan istri menuju 37 pekan tiba-tiba ada sebuah email masuk yang meminta kami untuk segera pindah ke dormitori mahasiswa tipe flat. Satu langkah perjuangan yang tidak mudah, karena kami telah mengirim aplikasi perpindahan dormitori disertai surat keterangan ‘tidak mampu’ kami ke pihak rektorat kampus. Qadarallah bagi Allah tiada yang mustahil, di hari itu juga ketika email masuk segera kami berkemas menuju tempat baru yang hanya berjarak 500 meter dari dormitori lama kami. Beberapa kawan mahasiswa di Poznan membantu kami dalam proses perpindahan. Besarnya kandungan istri membuatku sedikit khawatir dengan kelahiran bayi yang mendadak, apalagi ada sebuah momen ketika istri sudah memasuki 30 pekan dan secara mendadak sang bayi hendak ‘keluar’. Momen itu juga yang membuat kami merasakan fasilitas mobil ambulance di Polandia pertama kalinya. Meskipun begitu, kami berharap saat itu semua acara perpindahan ini berlangsung lancar.

 

Teriknya matahari, banyaknya barang, ditambah pemakaian masker di luar dan dalam flat yang mesti saya dan kawan-kawan alami tak sedikit memaksa kita untuk beristirahat sejenak. Atas izin-Nya pula, beberapa mahasiswa internasional ikut membantu karena di tahun yang sama saat itu sedang terjadi pandemi global maka, hanya saya dan 2 orang kawan yang diizinkan untuk menata ruangan. Adzan ashar pun berkumandang di handphone dan semua barang sudah dipindahkan kini tinggal sang istri yang dijemput menuju flat baru. Persis sebelum saya keluar dari pintu masuk, seorang resepsionis memanggil saya dalam bahasa Polandia dan memberikan secarik kertas informasi pembayaran. Alhamdulillah, betapa terkejutnya saya melihat tagihan kami bulan depan mendapatkan pengurangan sehingga kami hanya membayar 1000 PLN/bulan dari harga awal 1300 PLN/bulan. Sebuah pengijabahan do’a ditengah pandemi yang membuat kami lega, karena ekonomi kami yang bak gelombang pasang surut saat pandemi dan hanya mengandalkan uang beasiswa 1500 PLN/bulan.

 

Malam hari yang hening di flat baru, karena hampir semua mahasiswa ‘dipulangkan’ pihak kampus untuk mencegah penularan virus COVID-19 ditambah lokasi kamar kami di lantai 10. Saat itu tiba-tiba sang istri memulai pembicaraan. “Kak, Alhamdulillah kita sudah tinggal di flat baru, dan Insyaallah besok ada jadwal check-up jam 9 pagi semoga hasilnya bayi kita sehat”, mulai sang Istri. “Insyaallah, nanti pagi kita keluar naik uber supaya cepat dan aman”, timpalku. Setelah merapihkan kertas-kertas administrasi serta dokumen asuransi kesehatan, kamipun akhirnya bisa tidur dengan nyenyak.

……….

27 April 2020, Senin yang terang di hari ke-4 bulan Ramadhan 1441 Hijriyah kami berkemas 1 jam sebelum jadwal kunjungan dokter. Rutinitas biasa di era pandemi seperti pengecekan suhu tubuh, dan pengisian formulir kesehatan kami lalui di depan Rumah Sakit Polna milik Poznan Medical University. Tiba di dalam bagian Przychodnia (Klinik), sang istri pun dipanggil untuk dicek, kali ini dia jauh lebih tenang meskipun terkendala bahasa tetapi karena sudah terbiasa akhirnya ia pun bisa masuk ke ruangan tanpa perlu ditemani olehku lagi.

 

Derik pintu pun berbunyi dan pintu terbuka dibarengi dengan seorang pielęgniarka (suster) dan istri dari ruangan tersebut. Istriku tampak sedikit bingung raut mukanya sambil memegang buku kesehatan pasien. Akhirnya suster tersebut berbicara kepadaku dengan bahasa lokal yang intinya ialah memintaku untuk menuju bagian administrasi rumah sakit, dan berkemas untuk proses persalinan istri karena sang bayi yang dinanti sudah hampir ‘keluar’ dan istri berada di fase pembukaan ke-5. Sambil memegang erat tanganku, lirih sang istri berkata “Bismillah ya kak, saya juga tidak tahu kalo prosesnya akan secepat ini”. “Insyaallah tidak apa-apa, ayo kita menuju ke rumah sakit nanti sambil nunggu disana kita catat apa saja barang bawaan yang mesti disiapkan”.

 

Czy jesteś żonaty? (apakah kamu pasangan sah istri kamu)” tanya seorang pegawai administrasi sambil membolak-balikan buku nikah kami. “Tak Pani, a to mój akt ślubu (Ya Bu, itu buku nikah kami)” jawabku santai. Pegawai tersebut tampak aneh, dan iapun menuju ke beberapa teman pegawai lainya yang sebagian besar hanya bisa berbicara bahasa Polandia. Ku melihat sang istri yang sudah berkeringat dan tak berselang lama bagai kilat di tengah terik Mentari pegawai tersebut berkata “Musisz iść do swojej ambasady, aby twierdzić, że oboje jesteście małżeństwem (Kamu harus ke Embassy kamu (KBRI) untuk membuat surat bahwa kalian itu menikah”, ketusnya.

 

Astaghfirullah, betapa kagetnya kami mendengar jawaban itu karena memang ini hal yang aneh mengapa kami mesti ke kedutaan hanya untuk mendapatkan surat itu, bukankah akta nikah itu berbahasa inggris dan kalaupun perlu hanya diterjemahkan saja ke bahasa Polandia. Akhirnya, datang seorang dokter yang meminta istri agar segera masuk ke antrian di dalam khusus untuk perempuan yang siap melahirkan dalam waktu ke depan. Bismillah, kami pun berjuang masing-masing dimana saya mesti berdebat dengan pegawai administrasi dan istri berjuang di ruang melahirkan. Urusan administrasi yang panjang pun akhirnya terselesaikan ketika bagian pusat administrasi mengkonfirmasi dokumen akta nikah kami dan tak perlu menerjemahkanya ke bahasa Polandia. Padahal, sebelumnya saya sempat menelpon beberapa kawan dan diaspora di Poznan untuk membantu masalah ini. Alhamdulillah Alla Kuli Hal, saya pun kembali ke flat untuk mempersiapkan barang-barang.

 

Sebuah pertolongan kejutan datang dari kawan-kawan mahasiswa Indonesia di Poznan, yang membantu meminjamkan koper kecil beserta membantu membawa banyak peralatan dan perlengakapan bayi baru lahir dari flat ke rumah sakit. Tak lupa, saat itu dibantu oleh Mba Mayon, diaspora Indonesia salah satu pemilik Warung Sumatera Poznan, yang mengantarkanku memakai mobilnya.

 

Di depan pos satpam, saya pun mengantar barang-barang tersebut ditemani oleh suami Mba Mayon, Warga Polandia, untuk menanyakan ‘apakah saya bisa menemani istri saya di dalam’. Ternyata dokter jaga berkata bahwa saya tidak bisa menemani dikarenakan saat itu masih pandemi dan belum ada vaksinasi. Hati yang berat mengiringi kepulanganku ke flat, sambil mengabarkan keluarga di Indonesia kondisi terbaru dan tak lupa berdo’a kepada Sang Pemilik Keajaiban, Allah Subhanallahu Wa Ta’ala.

 

Malam pun menutup siang menandakan pergantian hari di kalender Hijriyah menuju 5 Ramadhan, flat pun jauh lebih sepi namun bukan sepi ini yang mengkhawatirkan melainkan prosesi persalinan yang membuat do’a - do’a selalu terkirim ke Arsy-Nya. Hampir 3 jam setelah istri memberi tahu bahwa handphone akan dinon-aktifkan karena ia akan fokus pada instruksi dokter. Sebelumnya tak pernah terbayangkan bagi kami untuk memiliki sang buah hati yang dilahirkan di negeri rantau ini. Masalah dan harapan yang kian kemari campur aduk sempat membuat kami berfikir untuk pulang ke Indonesia di jeda semester winter, namun Allah Maha Kuasa dengan munculnya pandemi global kami tak bisa pulang karena kekhawatiran virus COVID-19 yang jauh lebih besar.

 

Sesekali, ku lihat banyak pesan masuk dari keluarga di Indonesia yang bertanya kabar dan kesehatan bayi serta istri. Namun, tak satu pun yang ku jawab karena, memang belum adanya info lebih jauh dari istri ditambah akupun harus menjelaskan kenapa seorang suami tidak bisa berada bersama istrinya ditengah persalinan dimana apa yang kita yakini di momen itulah, jarak antara kehidupan dan kematian hanya setipis kertas. Aneh sekali badan saat itu, merasa sudah sangat kenyang meskipun hanya berbuka dengan kurma dan air bahkan akupun belum memakan sesendok nasi. Pikiran saat itu melayang ke rumah sakit dan ruangan persalinan yang bahkan aku pun tak tahu seperti apa bentuknya.

 

Dua buah pesan Whatsapp masuk di jam 3 dini hari persis saat sahur dan aku pun masih terjaga dari kantukku. Perlahan ku buka isi pesan itu, yang pertama ialah sebuah ucapan puji syukur kepada Allah Sang Pemilik Kehidupan, dan yang kedua ialah foto sang bayi. Sesaat setelahnya sebuah pesan muncul lagi berupa video sang bayi dengan tangan yang mungil dan bergerak-gerak. Laa Haula Wala Quwwata Ila Billah, sungguh tiada pertolongan selain dari Allah. Akhirnya hanya sujud syukur yang ku lakukan di flat dan ku kabarkan pada keluarga di Indonesia, 3 pesan tersebut tanpa ku edit sedikit pun. Teleponpun kemudian berbunyi tiada henti terucap selamat atas kelahiran sang buah hati dan kesehatan bagi sang istri, disusul video call dari mertua dan juga keluarga.

……….

Ya, hari itu Selasa (5 Ramadhan 1441 Hijriyah, atau 28 April 2020) seorang bayi laki-laki telah terlahir di tanah rantau, di bulan penuh berkah dan penuh warna (Kwiecien). Kami namakan ia Ishaq, merujuk pada bayi yang dinanti lama oleh Siti Sarah dari rahimnya bersama dengan Nabi Ibrahim yang kelahiranya membawa tawa ditengah keluarga. Nama yang sudah kami siapkan sebelum ia dihadirkan Allah. Pagi hari itu juga, entah mengapa ku merasakan sebuah energi baru dalam diri dan tanpa sedikitpun mata terpejam ku lanjutkan aktivitas pagiku hingga kuliah online.

 

Setelah euforia yang bergejolak, istri pun mengabari proses perpulangan selanjutnya yang mana akan kembali ke flat setelah 3 hari dikarenakan peraturan persalinan Polandia yang tidak mengizinkan pasien bersalin untuk pulang sesaat setelah melahirkan. Sembari menunggu kepulangan istri, beberapa peralatan bayi yang kawan-kawan kami dan juga orang tua-orang tua kami di Poznan beri mulai ku atur tempatnya. Istri pun meminta untuk membeli sebuah bak mandi kecil untuk memandikan bayi. Qadarallah setelah istri berpesan tersebut, sebuah email dari perwakilan international office kampus kami mengabarkan kalau ada barang-barang yang mereka titipkan di ruangan direktur dorm. Seketika ku pergi menemui direktur dormitori, tak lupa ia pun berkata “Gratuluję, teraz jesteś ojcem (selamat, sekarang kamu adalah ayah)”, ucapnya. Saya pun hanya tersenyum. Alhamdulillah dan hadiah itu pun persis sebuah bak mandi dengan beberapa popok dan sabun mandi untuk bayi baru lahir.

………

Kini, tinggal dua masalah yang perlu kami hadapi lagi. Satu ialah tentang pembayaran biaya persalinan dan kedua ialah siapa yang menjemput istri dan bayi. Esoknya di hari Rabu (6 Ramadhan, 29 April 2020) aku diminta untuk ke rumah sakit kembali untuk mengurus beberapa informasi nama anak dan penandatanganan berkas-berkas. Salah satu berkas ialah berkas pembayaran, di saat yang bersamaan ku dapati seorang pegawai administrasi yang bisa berbahasa Inggris. Sebelum berkas tersebut ku tanda tangani, ku bertanya “What are these documents? these are different or not?”, ia pun menjawab “The one is if you or your wife is person who doesn’t have public insurance and the last is if you or your wife are insured person by NFZ (Narodowy Fundusz Zdrowia)”. Saat itu akhirnya, ku sadar bahwa do’a istri untuk studi master bersama selain dikabulkan Allah juga di berikan bonus lainnya.

 

Akhirnya ku tanda tangani formulir yang kedua dan untuk memastikan pembayaran ku bertanya lagi pada petugas tersebut “Should we pay for all facilities and services?”. Petugas itu hanya menjawab cepat “No, Free because you have NFZ”. Alhamdulillah suma Alhamdulillah. Aku pun pulang dengan lega dan syukur tak terperi sembari ku informasikan kepada istri dan keluarga di rumah. Mereka pun meminta maaf karena tidak bisa datang ke Polandia karena memang biaya yang terlalu besar dan resiko serangan virus yang tinggi. Sebelum ku rebahkan diri di sebuah sofa, sang istri ditemani bayi kami menelpon lewat Whatsapp Video Call yang mengabarkan kondisi keduanya sehat dan besok sudah diizinkan pulang. Kata ‘Besok’ membuat kami akhirnya berfikir keras siapa yang akan menjemput istri dan bayi kami.

 

Awalnya, kami meminat pihak rumah sakit untuk mengizinkan kami naik transportasi publik atau taksi. Namun, permintaan kami ditolak karena alasan ‘safety’ akhirnya dengan bicara yang gugup dan malu-malu ku coba telepon beberapa orang diaspora Indonesia di Poznan. Akhirnya, Mba Mayon dan Suami nya kembali menyanggupi untuk menjemput kami semua di rumah sakit.

……….

Sore hari di hari ke-7 Ramadhan 1441 Hijriyah (30 April 2020), akhirnya 5 hari perjuangan sejak awal perpindahan dormitori lama ke flat baru, disusul berjibaku dengan informasi persalinan mendadak dan administrasi asing yang betul-betul membuat kami menelan ludah karena perbedaan budaya administratif. Semua hal itu dipadukan dengan kabar bahwa aku tak bisa menemani istri bersalin serta kecemasan pembayaran biaya persalinan. Akhirnya Allah Yaa Razaaq yang mampukan kami untuk melewati itu. Dihari itu diantar oleh mobil dari Mba Mayon dan Suaminya, kamipun kembali dengan selamat ke flat kami dan menikmati malam kebersamaan dengan sang buah hati. Sesekali ku tatap wajah istri, dan kupegang tangan mungil si bayi memastikan sebuah anugerah dari Allah yang dititipkan pada kami di tanah rantau ini tepat di pekan awal Ramadhan 1441 Hijriyah.

 

Tahun itu ya tahun 2020 bertepatan 1441 Hijriyah di tanah rantau, perayaan Ramadhan diliputi kehangatan tawa, dan energi baru dalam hidup kami menjadikanya sebuah surat untuk Ishaq kelak agar ia tahu kehadiranya telah kami nantikan lama.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kombinasi Peluang

ASTER (I'M LIVING IN SCHOOL' MEMORIES INSIDE MY BODY-Part 1)

We Are a Superstar, and You?