Matematika





MATEMATIKA. Segala jenis hal yang bertautan dengan penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Tak lebih tak kurang, jika ada hal lain seperti logaritma, differensial, integral, apatah lagi negasi. Itulah modifikasi dan bumbu penyedap dalam matematika. Hantu bagi setiap siswa. Hantu sejak zaman kolonial hingga demokrasi masa kini. Hantu seumur hidup bahkan konon menurut guru matematika SMA, matematika akan digunakan oleh malaikat penghitung amal di padang mahsyar kelak. Mengerikan bukan. Maka dari itu, tak salah jika sejak era Kementerian Pendidikan Nasional hingga apalah lagi nama Kementerian itu sekarang, matematika seakan menjadi lagu wajib di penghujung sekolah. Hantu itu menjelma menjadi 50 soal yang mau tak mau harus ditaklukkan entah dengan Bismillah hingga Na’uduzubillah.
            “Belajarlah ilmu hitung dit, kelak ilmu akan digunakan entah apapun profesimu”, jelas Ibu padaku.
            “Jika kamu kesulitan kau bisalah sekali-kali tanya ayahmmu ini, kalau ayah masih kesulitan lagi, bisalah kau pula tanya pada tetangga sebelah yang sudah insinyur”, tambah ayah.
            Begitulah aku diajarkan oleh kedua orang tuaku terhadap matematika. Sudah 8 tahun 2 bulan setelah ku berkenalan dengan ilmu dunia dan akhirat tersebut. Sejak itupula sudah kurasakan pula nilai dari angka 0 hingga gemerlap nilai 10. Perfecto. Namun, baru kali inilah bisa kukatakan rasanya untaian rumus bak syair lagu yang mudah dihapal dan dipraktekan berulang-ulang. Fungsi linier, aljabar, persamaan dan pertidaksamaan, bidang 3 dimensi, substitusi, distribusi, produksi, apatah lagi itu hingga konsumsi.
            Suratku sebelumnya pernah kuceritakan seorang kawan yang bernama Ryan. Teman baik hingga pesaing terbaik. Namun, pernahkah ku beri tahu nama seorang kawan lagi yang kemudian hari menemani jalanku di SMA. Ialah Edo. Pastilah mereka berdua ini sudah dikenali seantero SMP. Mulai dari bapak satpam, tukang es di luar sekolah, penjaga kantin, muadzin masjid SMP, hingga makhluk halus di sudut-sudut ruangan kelas kami. Tuhan pula yang kemudian, mempertemukan 3 orang nun beda watak dalam satu kombinasi tim cerdas cermat.
            “Bisakah, kita buat sederhana rumus pusing laying-layang ini?” tanyaku pada 2 temanku ini.
            “Dit, sudah kuduga kau selalu suka cara klasik dalam menyelesaikan masalah hanya kau lebih cepat saja dalam berhitung”, jawab Ryan.
            Menyisakan 14 hari lagi sebelum lomba cerdas cermat di Kabupaten diadakan, tim kami limbung. Ryan yang kalem, berfikir dengan metode simple sederhana, Edo yang selalu mengutak-atik bangun 3 dimensi, dan aku yang selalu berlatih berhitung dengan kecepatan secepat cheetah. Kami tiga orang kombinasi unik nun sulit bersatu jika bukan karena sebuah pertanyaan matematika konyol tentang berapa kali katak meloncat jika melewati sungai besar untuk menemui temannya di seberang sungai. Jika bukan karena itu hingga hari ke-6, kami baru menemukan seorang ketua tim ialah Ryan. Semua beres dan semua menerima.
            “Oke, ini deret untuk jawaban rumus lingkaran dengan berbeda jari-jari”, penjelasan Ryan membuka meeting kami.
            “Dit, bisakah kau buat deret hitung untuk peluang dari berbagai kemungkinan angka dadu jika dipakai satu, atau dua dadu?” tanya Ryan padaku. “Kau juga do, lawan kita pasti sudah menduga berbagai kemungkinan coba kau buat berapa kemungkinan berapa jumlah pintasan pada bidang 3 dimensi kubus dan nilai Pythagoras yang amat penting jangan kau lupakan” sambungnya pada Edo.
            “Oke sob”, timpal kami.
            Tak jarang kami menyelundup meminjam ruangan kelas, ruangan rapat OSIS, ruangan rapat pramuka, ruangan olahraga, hingga ruangan guru. Hingga hal-hal anehpun kita praktekan, seperti berapa kemungkinan peluang kemenangan permainan domino jika pemain memiliki kartu 6-6. Menurut Pa Eko, salah satu guru matematika kami belajarlah segala kemungkinan dari setiap bab jika tak mau belajar semuanya. Karena, keterbatasan otak kita, sehingga mempelajari peluang dari semua bilangan bulat dari 0-10 merupakan alternatif mudah. Terlebih untuk segitiga. Mempelajari perkalian angka 9 sehingga sangat mudah untuk menghasilkan angka 9 dalam setiap jumlah angkanya.
            Diam-diam kami, mengalami peningkatan intensif sebelum perlombaan. Hari terakhir sebelum esok perlombaan. Penghujung malam kami selalu berdo’a agar Tuhan memiliki rencana indah. Kami pun sadar tak bisa sepenuhnya bergantung pada Ryan meski dia di atas kami, namun kami tetap tim. Esok pun tiba, mobil sekolah berangkat dan tibalah kami di ruangan luas untuk memperebutkan supremasi kebanggan SMP se Kota dan Kabupaten.
            “Ya, kita sambut tim dari SMP Negeri 1 Ciledug”, teriak moderator. “Dilanjut tim dari SMP N3 Cirebon, MTS Bobosan, dan SMPN 5 Cirebon”, lanjutnya.
            Ya Tuhan, inilah pengalaman pertamaku berhadapan dengan SMP kota, ku lihat sekujur tubuhku menggigil dan tak sanggup memegang pensil. Ku minta izin sebentar pada moderator untuk ke kamar kecil. Setelah itu, drama pun dimulai.
            “Skor sementara di babak 1 ialah SMP N1 Ciledug memiliki point sama dengan SMPN 3 Cirebon dengan nilai sempurna dari 10 pertanyaan yakni 100”, teriak moderator diiringi dengan tepuk tangan meriah dari penonton.
            “Bersiaplah kawan, ingat kataku dit kau ahli dalam hitung cepat janganlah ragu jika kau sudah mengetahui jawaban dari soal, do ku tahu kau sudah paham setiap kemungkinan dari soal yang mengarah pada bilangan bulat jangan takut memencet bel, mari kita membaca bismillah terlebih dahulu”, ajak Ryan pada kami.
            “Dan, inilah babak rebutan sekaligus akhir dari session 2 dimana kesalahan dihukum -100, bersiap pertanyaan pertama”, lanjut moderator.
            “Berapakah nilai dari luas lingkaran dengan jari-jari 7 c…..?” belum sempat moderator menyelesaikan soal tiba-tiba bel dari kelompok kami berbunyi dan secara reflex ku pencet tombol itu.
            “Dit, bismillah jangan takut saya ga bakalan marah kalaupun salah jawabannya”, bisik Ryan.
            “154 cm2”, jawabku.
            “Yaaaaa……seratus buat tim SMPN1 Ciledug”, teriak moderator.
            “Jika ada segitiga siku-siku dengan satu sisi memiliki panjang 6 cm, berapakah si………….?”, kejadian seperti pertanyaan sebelumnya terjadi dan kini Edo memencet tombol tersebut.
            “10 cm untuk sisi miring dan…….”, Tiba-tiba suara moderator memotong jawaban Edo.
            “Yaa……seratus kembali untuk tim SMPN1 Ciledug”, moderator kini mulai bergaya layaknya moderator pertandingan tinju.
            Akhir dari session 2 tersebut, SMP kami memenangi grup 2 dan berhak melawan 4 tim lain di semifinal. Kami semua senang, kombinasi unik nan apik dirangkai kisah epik dan aksi yang ciamik menutup hari kami. Seminggu kemudian, kami akan kembali bertanding.
………………………………………….
            Kawan, maafkanku yang mesti kusingkat cerita ini karena ternyata di semifinal kami dikalahkan oleh SMP BPK Penabur Kota. Cerita epik kami bertiga akhirnya terhenti, namun kami senang karena kami kalah dengan terhormat dan sejak saat itu madding-mading penuh dengan nama kami bertiga.
            Aku masih sering bertemu Ryan setelah itu, namun ku jarang bertemu dengan Edo yang memang berbeda kelas dengan kami. Tapi, ternyata Tuhan menakdirkan aku dan Edo berada dalam satu SMA. Sedangkan, Ryan meski berbeda SMA namun kami masih sering berjumpa satu bulan satu kali di warung Bi Karni atau di rental playstation. Bahkan, kami berteman akrab setelah 9 tahun kejadian lomba tersebut, Edo yang memang pernah 6 tahun satu sekolah dengan Ryan, seakan bertemu kembali dengan partner logaritma-nya. Aku merasa memiliki 2 cermin refleksi dalam hidupku.
            5 tahun berlalu, malam perpisahan sekolah berlangsung meriah dan setiap siswa merayakannya. Aku dan Edo dalam tempat dan waktu yang sama saling tertawa dan bercerita sulitnya menempuh beberapa pelajaran. Nun di lain tempat, Ryan bersama teman-temanya pula merayakan kelulusan SMA dengan pesta adat. Kami, kemudian mengambil formulir pendaftaran perguruan tinggi untuk melanjutkan sekolah.
            “Yan, gimana kabarmu?, menghilang kau coba ku tebak kau pasti mendaftar di jurusan matematika kan?”, tanyaku.
            “Kau salah kini dit, bagaimana denganmu do?” tanya Ryan pada Edo.
            “Ayah memintaku untuk kuliah di pendidikan vokasi saja (D3) tapi, nampaknya bukan matematika”, jawab Edo.
            “Ah, sudahlah santai saja tak perlulah kita ngotot jalan hidup memang kadang berubah”, Ryan menenangkan. “Aku pun begitu, sebentar lagi mungkin aku berurusan dengan Tuan Einstein dan Newton di pendidikan fisika, ku tebak kau dit pasti kau pun tak mengambil matematika”, imbuhnya.
            “Kau benar yan, akhirnya kita bertemu di persimpangan sudah kita berbeda kampus. Esok ku hadapi berjubel hafalan nama latin nun aneh dan jarang lagi kutemui rumus-rumus π, sinus, atau cosinus”, jawabku.
            Tuhan, kadang mematangkan kita dengan jalan berbeda. Edo menyelesaikan studinya selama 3 tahun, kemudian Adit 4 tahun, dan terakhir justru Ryan selama 4 tahun 8 bulan. Tuhan menciptakan matematika, namun matematika pula yang ditugaskan Tuhan untuk memisahkan kita bertiga. Rasanya ingin sekali, kami merevisi tulisan 9 tahun lalu di mading SMP, sebuah artikel berjudul “Karena Matematika kita berpisah” untuk membalas berita “Matematika yang menyatukan 3 orang siswa di sekolah”.

                                                             

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kombinasi Peluang

ASTER (I'M LIVING IN SCHOOL' MEMORIES INSIDE MY BODY-Part 1)

We Are a Superstar, and You?