Satu Paragraf



Satu Paragraf

Pergi kemudian kembali dan kemudian pergi lagi, berlalu seperti angin tak pernah permisi dan berjanji. Pernahkah, kemudian kita berfikir berada dalam sebuah masa yang sama dan menjadi dewasa bersama. Mentari yang kau pandang tak lagi sama dengan mentari yang ku pandang. Benarkah, jika semua ini kefanaan maka apa yang kita pakai, yang kita banggakan, dan yang kita miliki memang tak benar-benar kita miliki. Berlari layaknya petualang, mencari apa yang tak pernah dicari orang. Dibawah ilalang  yang sama, dengan dilihat Rabb yang sama, kemudian kita berjalan, berlari, berproses, tak jarang kita berdebat. Kita ingin benar-benar menikmati saripati hidup, melihat pelangi yang sama dalam lukisan langit biru, mewarnai kanvas kehidupan, meskipun kita akhirnya berpisah. Berdiri melihat dunia yang sama, batas horizon yang menutupi mata bukanlah halangan kita untuk melihat masa depan, meskipun berbeda. Pernahkah kita berhenti sejenak dan menghela nafas, seandainya Andrea Hirata tak pernah menuliskan kisah biografinya mungkin tak ada yang tahu indahnya hidup. Indahnya, saat kita tahu Allah memeluk mimpi-mimpi kita. Bosankah kita duduk bersama, menikmati hangatnya perasaan satu sama lain, mungkin seandainya tak pernah ada film Life of Pi mungkin tak ada yang tahu bahwa laut itu indah. Indahnya, saat langit yang kita pandang dilukiskan dalam kain lautan. Hingga kita tahu, bahwa hidup ini adalah refleksi dari kehidupan kita. Petualang yang bijak akan berhenti disebuah titik, bukan karena mereka akan menyerah. Mereka akan singgah di sebuah gubug sederhana penuh dengan hangatnya suasana, dibalik dinginnya udara luar. Mereka akan menunggu teman dalam perjalanan selanjutnya. Petualangan kita belumlah usai, kita hanya ingin berjalan terpisah bukan karena kita egois, bermusuhan, dan saling benci. Kita hanya ingin mencari, dan menemukan teman kita masing-masing. Biarlah angin berlalu seperti adanya tak pernah kita pinta, tapi maukah kita saling janji. Diatas tanah yang sama kita injak, disaksikan oleh cacing-cacing yang menunggu kita, diperhatikan oleh semut-semut yang mengantarkan kita, ditunggu oleh dendelion yang mengarahkan kita, dan ditulis semua ini oleh Rabb Yang Memiliki Bumi ini. Saling janji, untuk memberi kabar, menyemangati, dan saling mendo’akan semoga teman yang kita tunggu tak lama lagi akan datang. Lembaran putih, yang akhirnya dicoret dengan ribuan huruf, dan tanda baca. Air terjun, tanah, duri, terjatuh dan kemudian basah kuyup. Kita bahkan tak mengerti, mengapa hati ini begitu senangnya disaat banyak orang berkata tak ada kerjaan. Setidaknya kita tahu, saat hujan berteduhlah jika tidak petir akan menyambar kita. Setidaknya kita berani, menumpang mobil dan berjalan jauh tanpa sepeser uang pun disaat banyak orang kebingungan mencari kendaraan untuk berpetualang. Kadang jikalau A. Fuadi sekalipun tak pernah menulis novelnya sudah pasti masih banyak cerita keajaiban bagaimana Rabb kita bekerja merangkai jalan menunjukkan jalan pada mimpi-mimpi kita. Kalau kita hanyalah pasir yang berada di atas padang  nan luas, serta sama seperti pasir-pasir lainnya. Maka, kita akan bereaksi dengan berbagai partikel pasir lainnya hingga kita berbeda dari lainnya. Seperti cerita arang dan Intan, semoga kita mengingatnya. Arang yang berkerabat dekat dengan intan, memiliki komponen dasar yang sama berupa karbon. Berteman karib, akrab, sangat dekat. Hingga, intan kemudian menemukan teman dalam petualangannya dan mereka saling menautkan komponen karbon mereka. Kemudian jadilah struktur karbon nan kompleks yang membedakannya dengan arang. Kita mesti bersabar ditengah petualangan kita untuk menemukan teman lain dalam petualangan ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kombinasi Peluang

ASTER (I'M LIVING IN SCHOOL' MEMORIES INSIDE MY BODY-Part 1)

We Are a Superstar, and You?