Espressiologist – Sekuel Masa Depan E – Library for Librarian Fighter
Espressiologist – Sekuel Masa Depan
E – Library for Librarian Fighter
The Sistem which help everyone easily to access
references everywhen, and everywhere
Sekuel
masa depan, karena harapan ini berisi tentang keinginan penulis bagi bangsa
Indonesia. Tahun 2014, perpolitikan
memanas di Indonesia tak jarang banyak orang saling adu argumen dan sikut
dimana saja. Wajar, tapi tak wajar pula. Oktober 2014, presiden
yang baru pun akan dilantik, namun ada harapan dan ada tantangan dibalik semua
itu. Hal yang menarik dan menggelitik pikiran saya ialah sistem. What is the system? And why?. At least, presiden baru kita telah
mengeluarkan argumen akan membangun sistem electronic.
Sederhananya sistem ini membuat hal yang susah menjadi lebih sederhana dengan one click. Contohnya E-Government,
untuk sistem kepemerintahan. Mungkin, saya baru terfikir salah satu ide (semoga
bisa disumbangsihkan) yakni E-library.
Meskipun, kata ini sudah banyak dibicarakan bahkan diaplikasikan di berbagai
perguruan tinggi bahkan SMA skala nasional. Namun, kalau hal ini bisa
diintegrasikan membentuk rantai-rantai penghubung antara tiap institut,
menarik.
Bentuk
perpustakaan yang terpadu dan saling terhubung ini sebenarnya jauh sejak lama
diaplikasikan di era Kekhalifahan Abbasiyah, pada khalifah Harun Ar-Rasyid.
Bahkan, tak tanggung-tanggung saat itu referensi-referensi berbahasa asing,
seperti Persia, Yunani, dan Romawi diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (bahasa
nasional saat itu). Menurut sumber dari buku Bacalah terbitan MQS Publishing di era tersebut, khalifah
punya sebuah perpustakaan besar di Baghdad dengan sebutan Bait al-Hikmah, dan
para wazir (menteri)nya pun hampir
mendirikan perpustakaan. Damaskus pun mengikuti, diikuti Ishafan, hingga Syam.
Semua orang berhak mengakses kemanapun pustaka-pustaka, khusus untuk
perpustakaan khalifah ada kartu khusus dan kartu ini berlaku jika pembaca
berkunjung ke perpustakaan milik negara di wilayah Abbasiyah. Uniknya, berbekal
kartu tersebut pembaca, tak hanya bisa membaca sepuasnya, melainkan pula diberi
bayaran 100 dirham atas kunjungannya dan fasilitas menginap jika diperlukan.
Era
berganti, tahun 1684 Jepang memulai sebuah peradaban baru di zaman Edo . Aktor
utamanya Ieyashu Tokugawa, sang ksatria era shogun.
Tahun tersebut, Jepang membuat sebuah resolusi untuk peningkatan budaya baca,
dimana perpustakaan dibangun, buku-buku asing mulai diterjemahkan, dan kemudian
menasionalisasi bahasa serta huruf sendiri, terpisah dari China. Tahun 2012 di
situs Bunkanews (situs media massa di
Jepang), jumlah perpustakaan dan toko buku di Jepang menyamai negara Amerika
Serikat. Amazing. Padahal, Amerika
serikat luas wilayahnya 26 kali lipat dari Jepang. Tak hanya itu, era
digitalisasi sejak westernisasi Meiji, membuat perpustakaan se-Jepang
terkoneksi secara nasional. Sejak 2002, bahkan Universitas Tokyo telah membuat
program e-library for community
(perpustakaan elektronik untuk masyarakat). Hal ini, semakin memanjakan
masyarakat Jepang untuk gemar membaca.
Lalu,
E-library seperti apakah yang
kemudian menjadi prototype sistem elektronik perpustakaan nasional
kita?. Overall, konsep kedua
referensi diatas sangat baik. Lalu, menilik kapabilitas pemerintahan baru
Indonesia, yang sudah terbiasa menggunakan kartu
sehat berbasis gratis. Inovasi
gagasan saya ialah berupa tools yang
bisa mengakses ke semua perpustakaan di Indonesia, dan menggunakan sistem
rujukan (sistem yang biasa ada di pelayanan kesehatan) pada sistem e-library Indonesia. Mungkin, sejauh ini baru perpustakaan
perguruan tinggi yang saya rasakan pelayanan seperti ini, sebagai contoh di Crystal of Knowledge-nya UI ketika saya
mencoba membaca koleksi dan meminjam buku disana. Sistem rujukan seperti ini
memang sangat mempermudah mahasiswa, tapi bagaimana dengan mahasiswa di
perguruan tinggi swasta yang mungkin saja belum memiliki ruang perpustakaan
modern. Sedangkan, kebutuhan mereka pun sama, artinya mereka (mahasiswa, red)
disana pun melakukan riset untuk tugas akhir dan setiap riset didukung sitasi
dari referensi yang berbobot.
Hal
yang terparah (menurut saya) yang pernah dilihat ialah beberapa mahasiswa dari
sebuah perguruan tinggi swasta di kota Cirebon, dan bahkan di Purwokerto yang
belum mengetahui akses googlescholar.com
(situs referensi artikel ilmiah, jurnal, dan kutipan). Tentu saja hal ini sangat
memprihatinkan, lalu bagaimana dan referensi apakah yang mereka gunakan untuk
tugas akhir. Tapi, arti dari fenomena ini ialah kurangnya perhatian pemerintah
akan akses-akses referensi. Alternatif dari masalah ini hemat saya ialah
pemanfaatan E-KTP untuk akses
perpustakaan milik pemerintah di seluruh Indonesia, dengan sistem rujukan.
Artinya, jika ada masyarakat yanng ingin mengkases buku di perpustakaan di
Jayapura, namun tak menemukannya. Maka, dengan fasilitas E-Library, masyarakat tersebut berhak mendapat rujukan ke
perpustakaan terdekat dengan opsi merujuk sendiri ke perpustakaan tersebut atau
meminta bantuan jasa pengiriman ke perpustakaan tersebut untuk mengirim buku
pesanannya. Sehingga, masyarakat di daerah terpencil dapat mengakses referensi
di seluruh perpustakaan pemerintah dan pemerintah pun setidaknya bekerja sama
dengan jasa pengiriman seperti Pos untuk sistem rujukan referensi tersebut.
Semoga
sekuel pertama ini bermanfaat dan mohon maaf jika ada kelemahan analisis serta
kekurangan dalam menggambarkan kondisi.
Komentar
Posting Komentar