Lemahnya Adaptasi Indonesia (Edisi 1 - Climate Change)
Lemahnya Adaptasi Indonesia (Edisi 1 - Climate Change)
“Atlantis adalah
Indonesia” (Prof. Arysio Santos, geolog dan fisikawan Brazil)
Protokol Kyoto
dengan nama resmi Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate
Change dibuka tanggal 16
Maret 1998 dan ditutup 15 Maret 1999. Hasil protokol Kyoto mulai diratifikasi
di Rusia tanggal 18 November 2004. Berlakunya Protokol Kyoto diprediksi akan
menurunkan suhu rata-rata antara 0,02 hingga 0,280C (Nature, 2003).
Keunikan protokol ini dibandingkan dengan konvensi di Berlin dan Marrakesh
(Maroko) ialah mulai dipisahkannya dua kubu utama dalam tema “Pemanasan Global”
yakni negara Annex (penyumbang gas rumah kaca terbesar) dan non-Annex. Selain
itu, mulai muncul pula konspirasi-konspirasi aneh dan tak terungkap yakni
munculnya Amerika Serikat dan negara payung (Jepang, Jerman, dan Islandia)
sebagai negara yang awalnya menolak meratifikasi isi protokol.
Menurut rilis dari program lingkungan PBB
ialah isi protokol ialah "Protokol Kyoto adalah sebuah
persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah
kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun
1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan
jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan
sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas
rumah kaca - karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung
sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-12. Target nasional
berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0%
untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10%
untuk Islandia.".
Sekian
panjang prolog diatas, nampaknya kita belum tahu dimana letak Indonesia
diantara ratusan negara. Negara yang memiliki hutan hujan tropis terbesar ke-2
setelah Brasil, ini memang memiliki potensi dalam menyerap gas rumah kaca di
dunia. Tapi, permasalahannya apakah Indonesia mau mengikuti peraturan isi
protokol. Senin (28 Juni 2004 sumber www.tempo.co)
menyatakan Indonesia mulai meratifikasi protokol Kyoto. Secara garis besar efek
protokol Kyoto berdampak pada 5 hal, yakni pembangunan ekonomi mandiri (bukan
kapitalis ala barat), pelayanan bisnis, privatisasi (awal munculnya sektor
ke-3), kemiskinan, kesetaraan. Kelima efek tadi, akan mengerucut pada sebuah
frasa “Adaptive capacity” yakni kemampuan adaptasi multisistem sebuah
negara (ekonomi, sosial, budaya, saintek, dan kelembagaan) terhadap perubahan
iklim untuk mengurangi degradasi, memanfaatkan momentum, dan memperkecil resiko
ketertinggalan.
Menurut
World Resources Institutes (2009)
kemampuan beradaptasi suatu negara tergantung kepada aset yang dimilikinya. World Resources Institutes mendirikan
sebuah lembaga yang bernama NAC (The National Adaptive Capacity framework) yang
harapannya menolong setiap negara dalam merancang kemampuan adaptasinya.
Kembali kepada negeri zamrud khatulistiwa (Indonesia, red), negeri dimana
budaya dibentuk dari kebiasaan yang tercetak sedemikian hingga. Data prediksi
dari Nugroho sebagai fungsional dalam bidang energi BAPPENAS (2001)
memperkirakan total emisi CO2 di negara kita mencapai 672 juta ton.
Bayangkan, negeri dengan diversitas biologi dan plasma nuthfah terbanyak ini
justru menyimpan drama bagi
penduduknya. Hal ini ditambah surplus demografi yang meningkat mencapai
3,3%/tahun, akan menjadi sebuah tantangan bagi siapapun pemerintahannya.
Refleksi
dari data tersebut berimbas pada meningkatnya kemiskinan, bahkan menurut KPK
(2011) kehilangan aset Indonesia mencapai Rp. 712 juta triliun/tahun.
Menyeramkan, dengan kata lain banyak aset yang tidak tersalurkan sempurna ke
masyarakat hingga angka kemiskinan meningkat dan ditambah surplus demografi.
Siklus ini mengindikasikan lemahnya adaptasi bangsa ini, dengan meningkatnya
emisi gas buang CO2, berarti meningkat pula kerusakan dan alih
fungsi hutan. Rusaknya hutan berarti pula mengurangi daerah resapan air (water reservoir) dan kejamnya lagi air
yang tak terserap akan menggerus daratan Indonesia ini 1 cm/tahun (Sudiana, 2010).
Kita baru berbicara Indonesia dalam sektor sains, lalu apa dampak jika
permukaan air meningkat tentunya akan meningkatkan gelombang. Sudah
bertahun-tahun, kita tak melihat lagi surplus Indonesia di bidang perikanan,
hal ini menjadi pertanda meningkatnya gelombang laut sehingga ikan tak mau lagi
berada di perairan Indonesia dan menurunkan nilai ekonomi di sektor ini. Jarak
antara air tanah dan tanah semakin dekat, sehingga pengecoran aspal d jalanan
perlu berlapis-lapis untuk menghindari kerusakan alam. Aspal sendiri merupakan
produk akhir dari pengolahan minyak bumi, dan kita tahu selama ini kurangnya
Indonesia ialah belum sepenuhnya mengelola minyak bumi sendiri. Lihatlah,
bagaimana PT. Freeport, Cevron, Shell dan Newmount dengan leluasanya mengelola
minyak bumi, sedangkan Pertamina kita hanya sedikit mengelola dari itu.
Iklim
memang tak bisa diubah sepenuhnya oleh tangan manusia, meskipun dalam satu
dekade ini isu pemanasan global menjadi isu dunia. Kita lihat dalam sudut
pandang budaya, adaptasi kita terhadap iklim masih begitu lemah bayangkan,
budaya berbagi, gotong royong, dan hidup bersih mulai tergerus. Tekanan budaya
(culturs shock) merupakan senjata
ampuh dalam mengubah behaviour and habit dari
negara dengan “pemenuhan” teknologi (Pettengel, 2010 dalam Overseas Development Institutes). Langkah sederhana, makin
meningkatnya suhu dunia membuat produksi Air
Conditioner (AC) dari berbagai pabrikan masuk ke Indonesia. Harga, tak usah
dibincangkan kini masyarakat skala kecil-menengah ke bawah pun dapat merogoh
kocek Rp. 1-2 juta untuk memasang AC di ruangan mereka. Inilah budaya kita ini,
niat hati akan mendinginkan ruangan justru meningkatkan gas rumah kaca berupa
CFC, dan Freon di atmosfer. Jika ability dari AC mampu bertahan 5-10
tahun, dan kita bandingkan dengan biji pohon mahoni yang akan kita tanam.
Sedangkan, satu pohon mahoni berusia 10-20 tahun mampu menyerap 202,99 ton/Ha
karbon (Widjajanto dan Gailea, 2010). Maka, sudah saatnya memang green economy and green building
diterapkan untuk proyek jangka panjang. Namun, inilah budaya sekali lagi memang
ada sisi praktis dan mendesak ketika
suhu harian Indonesia meningkat, namun menjadikan AC sebagai kebutuhan primer
bagi masyarakat akan semakin memanaskan Indonesia 10 tahun akan datang. Inilah
indikasi lemahnya adaptasi kita ibarat menutup lubang dan menggali lubang untuk
hutang.
Sumber referensi:
(1) Nature. 2003.
Climate Change. United Nations Publications inc.
(2) World Research
Institutes. 2009. The National Adaptive Capacity Framework : key institutional functions for a climate
change. Pilot draft. Washington DC.
(3) Nugroho, H.
2001. Analyzing Indonesia’s export of
fossil fuels. Tidak dipublikasikan.
Universitas Kyoto: Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Energi.
(4) Sudiana, E. 2010.
Optimalisasi Pengelolaan Lahan untuk Pengembangan
Hutan Rakyat Berkelanjutan. Disertasi. Universitas Brawijaya. Malang.
(5) Pettengel, C.
2010. Climate change adaptation: Enabling people living in proverty to adapt.
Oxford: Oxfam GB.
(6)
Widjajanto, D.,dan R. Gailea. 2008. Study of Agroforestry Development for Toranda Watershed Management,
Palolo Sub-district, Sigi Regency, Central Sulawesi Province. J. Agroland 15 (4) : 264 – 270.
Komentar
Posting Komentar