Cyklamen - Kenapa dan Ada Apa di Luar Negeri? (Sebuah Latar Belakang)

 


Kenapa dan Ada Apa di Luar Negeri? (Sebuah Latar Belakang)

Sebenarnya judul diatas adalah judul khas dan biasa bagi seorang pelajar yang menimba ilmu di luar negeri, entah apapun negaranya. Akupun kebingungan sebetulnya mencari sebuah judul pasti dari tulisanku ini. Tapi, baiklah kita mulai dengan judul umum ini dan biarkan setiap segmen didalamnya berbicara dengan bahasanya sendiri.

……………………………..

“Ingatlah bumi Allah itu luas tak hanya sekedar Purwokerto dan Unsoed saja”.

 

Adakah keinginan dalam diriku ini untuk studi lanjut di luar negeri?. Jika pertanyaan ini kujawab di tahun 2014 atau 2013, jawabku “Tidak ada”. Lalu mengapa sangat menyukai bunga tulip dan sakura?. Itu hanyalah pertanyaan konyol dan sebetulnya akupun taky akin akan bisa pergi ke luar negeri. Orang tuaku saat itu mengarahkan untuk lanjut ke pekerjaan setelah lulus. Tentunya, pekerjaan memang lebih menjanjikan dari segi finansial pribadi, ditambah usia yang masih muda (Ketika lulus usiaku 21 tahun). IPK tinggi, pengalaman organisasi ada, pengalaman prestasi ada, dan embel-embel sarjana pun melekat dengan pasti. Seakan berkata pada diri “Ini lah saya, siapa yang tak kenal saya dengan segala sisi positif yang menempel bak pakaian yang dipakai oleh manusia”.

…………………………….

“Jika hidup hanya berisi kesenangan kapan kita butuh Allah. Saat senang saja bisa lupa”.

 

Tiga kali job fair telah kuikuti tanpa adanya satu keputusan resmi, seakan berkata pada diri “Ah, peluang kerjanya ini ga cocok dengan bidang saya, saya masih bisa dapat lebih”. Orang tua di rumah selalu menanti keputusan pasti tempat pekerjaan dimana hingga meminta untuk mengikuti tes CPNS 2014 (saat itu digadang-gadang sebagai tes CPNS terakhir era SBY karena setelahnya aka nada moratorium CPNS hingga 5 tahun kedepan). “Wah ada lowongan kerja kebun raya”, girangku dalam hati. Segera tanpa berpikir panjang ku input tiga buah opsi tempat CPNS yakni kebun raya di Cipanas, Bogor dan Bali. Ku ikuti segala rangkaian tes CPNS hingga berhenti pada level terakhir yakni tes Bahasa Inggris, dan skill kepenelitian. Orang tua ku kesal bukan main dan menganggap bahwa pasti ada “kecurangan” dalam tes CPNS tersebut setelah hasil akhirnya diumumkan dan tak ada satupun nama “Faisal Anggi Pradita” di peserta yang lulus. “Aku” tak pikir panjang, hanya berfikir usiaku kan masih 21 tahun saat itu, mungkin ada kesempatan selanjutnya.

………………………………

“Janganlah selalu berpatok pada ucapan orang, mereka bisa saja menyanjungmu tapi saat kau jatuh bisa jadi dan memang jadi hanya Allah-lah yang menyertaimu”.

 

Sekian bulan sejak Desember 2014 hingga akhir Januari 2015 tak ada satupun aktivitas pasti yang kujalankan dan secara unofficial aku adalah pengangguran. Keras kepalanya diriku saat itu ingin sekali berbisnis tanaman hias hingga habis uang tabungan kuliahku, padahal uang itu ku kumpulkan sejak 2010 dari berbagai sumber (Tentunya sumber halal, seperti beasiswa, sisa uang dari uang bulanan orang tua, dan kerja sampingan sebagai guru privat). Tetangga-tetangga kampung pun mulai bersiul dan berkokok lantaran mereka “menang” secara tak resmi bahwa “Nilai dan Ranking” bukanlah jaminan anak muda bisa dapat “Kerja dan Uang” yang bagus, banyak apalagi mudah. Memang tercatat sejak ku TK hingga Sarjana, Allah selalu memuluskan Langkah Pendidikanku dari mulai mendapat predikat ranking 1 atau terbaik dari SD hingga sarjana. Embel-embel juara A, B, C dan apapun itu selalu dipajang di dinding rumahku. Pembicara A, B, C dan lain-lain menghias kamar pribadiku.

……………………………….

“Allah memiliki cara dan jalan-Nya sendiri”

 

Akhir Januari 2015, muncul info pembukaan PTT (Pegawai Tidak Tetap) Kebun Raya Bogor untuk periode hingga Desember 2015, dan ada kemungkinan perpanjangan kontrak hingga 1 tahun setelahnya. Tanpa ku pikir panjang dan seakan menjadi sebuah “Peluru” untuk para tetangga dan orang-orang yang tak paham passion, akhirnya ku submit seluruh aplikasi pendafataran via pos. Tak berselang lama, tim LIPI pun memanggil untuk seleksi tahap awal berupa seleksi tes dasar pengetahuan botani. Allah meluluskanku saat itu hingga seluruh rangkaian tes. Hanya ada dua orang dari kampusku yang diterima, satu orang ialah senior ku Angkatan 2009 yang sama-sama menjadi asisten praktikum struktur perkembangan tumbuhan dan diriku. Plus satu orang lagi yang juga PTT namun dengan kontrak berbeda yang juga masih seniorku di laboratorium SPT Angkatan 2008. Selama proses seleksi tersebut, aku menginap di kediaman om-ku di Bogor Kota. Bahkan aku pun sempat menikmati tinggal di Jabodetabek setelahnya selama dua pekan. Lumayan untuk mengetahui secuil tentang Ibu Kota.

…………………………………..

“Seperti Allah firmankan dalam Al-Qur’an ‘bisa saja kita sangat menyukai sesuatu padahal Allah membencinya atau sebaliknya’, maka Maha Benar Ia (Allah) dengan segala firman-Nya”

 

Kukira inilah awal “Bahagia” dalam seluruh hidupku hingga hari ini, ternyata disinilah “Titik Balik” dari rentetan peristiwa setelahnya. Seperti pepatah bilang “Sabar ialah mata pelajaran di sekolah kehidupan yang tak pernah tuntas hingga kematian datang”. Kata “Kematian” menjadi begitu lekat di tahun 2015, menggambarkan sebuah “kehidupan” pada diri entah mengapa. Saat itu, seluruh rangkaian diklat kepegawaian telah diikuti dan sudah saatnya setiap PTT memilih salah satu partner-nya untuk ditempatkan di KRD (Kebun Raya Daerah). “Aku ingin memilih ‘a’ karena, sejauh ini merasa cocok dalam berbagai diklatsar dan materi-materi di kelas”, tukasku dalam hati dalam kertas kecil berisi calon partner. Bahkan sempat ku WA salah satu senior 2008 ku untuk memuluskan langkahku ber-partner dengan si ‘a’ tersebut. Hari pengumumanpun tiba, akhirnya sesuai skenarioku, aku berpartner dengan si ‘a’, dan ditempatkan dengan peneliti utama di bidang biji di Kebun Raya Daerah Maros, Sulawesi Selatan. Saat itulah, pertama kalinya aku menaiki pesawat seumur hidupku. Betapa riang hati ini, posting sana sini sebagai Proves (bukti-bukti) bahwa “It’s me, who is said by your mouths”. Ku panggil seluruh keluarga besar agar bersedia mengantarku ke bandara, untuk melihat anaknya, cucunya, dan saudaranya menaiki pesawat.

……………………………….

“Bagaimana kita belajar sabar, jika kita saja tidak pernah (tidak ingin) diuji. Mungkin diri sudah lupa dengan ke-sabaran saat ‘diatas’ hingga Allah mencoba mendekap diri ke tempatnya”.

 

Aku berfikir bahwa memang ada manusia yang ditakdirkan “sedikit” gagal seperti diriku saat itu, Ketika ku lihat akulah peserta PTT yang paling muda diantara yang lainya. Hingga bagian ini hendak ku tulis, rasanya aku tak mampu menulis dan mengetiknya bukan karena tak ada inspirasi atau plotting cerita yang pas. Hanya saja rasanya dada bergemuruh, tenggorokan memanas, dan semua perasaan bercampur antara emosi, dan sedih. Meski, realitanya itulah masa lalu. Seperti kata Andrea Hirata bilang dalam novel “Maryamah Karpov” nya ‘Ada satu titik dimana kamu menemukan sesuatu yang selama ini kamu cari dan butuhkan, yakni ‘Kenyataan’. Ya, kenyataan bekerja selama 3 bulan sejak Februari hingga April 2015, banyak ke-tidak nyamanan dalam partner relationship kami. Aku tak ingin membahas dimana letak kesalahanya, hanya dalam satu aspek ku yakin bahwa ‘Manusia beraneka ragam, dan aku masih belum bisa menerima sebuah tipe manusia sepertinya’. Gaji bulanan yang mencapai 3,5 juta di 2015 saat itu seakan ‘tak menyemangati, dan tak memberikan rasa nyaman’ pada diri. Bukan pada letak nominalnya, namun Something wrong terjadi dalam diri. Aku merasa seperti “budak” (bukan budak pekerjaan tentunya), melainkan budak dari diri ku sendiri yang ingin selalu tampil perfectness di hadapan banyak orang. Namun, realitanya aku hanyalah orang yang tak “menikmati” pekerjaan ku, “sedikit” tak dianggap dalam setiap partner relationship ku, hanya memang karena diri ini belum sepenuhnya menerima dan kawan pun belum sepenuhnya trust terhadap skill-ku.

…………………………………..

“Media massa dapat membohongi setiap pembacanya dengan kata-kata, jadi cukup tak dibaca maka kita tak dapat dibohongi mudah. Nun besar dari itu, media sosial hanya cukup dengan foto dan gambar bisa menjadi tipu daya, apalagi jika ditambah kata-kata”.

 

Awal Mei 2015, kuputuskan untuk pulang kembali ke Jawa, secara ‘diam-diam’ dengan ‘rencana a’. Ku hubungi orang tua ku bahwa aku tak betah, dan betapa terkejutnya mereka, dan entah mengapa mereka lebih tertuju pada respon tetangga-tetangga dan saudara-saudara yang sebetulnya tak begitu penting dalam hidupku. Ku hubungi kawan-kawan di Purwokerto, Unsoed lebih tepatnya berharap bisa bekerja sama “kembali” berbisnis tanaman hias. Ku siapkan bekal pulang secara diam-diam, dengan menelpon guru ngajiku di Maros untuk memesankan tiket kapal laut seharga 300 ribu tujuan Surabaya, dan disana dilanjut naik Kereta Api menuju Purwokerto (bukan Cirebon, tempat tinggalku). Ku ingat baik tanggal pulangku tanggal 3 Mei 2015, bersamaan dengan kepulangan tim detasering dari Kebun Raya Purwodadi dan dengan alasan “wawancara”  beasiswa untuk studi lanjut. Ku ambil cuti 5 hari kerja, dengan berharap gaji di bulan Mei tetap dibayar tanggal 5 Mei. Sebuah rencana yang “hampir” berhasil sampai ku mendarat di Purwokerto di sebuah kostan teman. Selang sehari kemudian, uang gaji pun masuk dan mulai ku temui kawan-kawan yang sebelumnya ku hubungi sebelum di Jawa.

………………………………..

“Allah-lah sebaik-baik pembalas tipu daya”

 

Apakah aku jahat?. Jika kujawab di tahun 2015 persis di bulan Mei, mungkin jawabku bernada tinggi “Tidak”. Nun jauh lebih jahat ialah kawanku yang selalu menyampingkanku dalam setiap aktivitas pekerjaan, bahkan porsi mencatat laporan kegiatan pekanan saja tak diberikan, selalu meminjam uang tanpa mengembalikan hanya dengan alasan uangnya dipakai untuk bangun pesantren dan sebagainya. Apakah aku jahat?. Jika kujawab persis Ketika kawanku memintaku untuk mengambil paketnya di rumah orang tuanya di perumahan bumi Asri belakang fakultas Biologi Unsoed, maka jawabku “Tidak”. Dia jauh lebih jahat dan berbohong secara terang-terangan, dia memohon meminjam uang padaku, karena nyatanya uangnya bukan untuk pesantren melainkan untuk membeli kamera DSLR plus lensa berkekuatan tinggi bak teropong bintang, yang menurut ayahnya hasil uang yang dikumpulnya berharga 3,9 juta. “Tidak” aku “Tidak Jahat”, “Tidak” aku “Tidak berbohong” ketika ku pulang diam-diam dengan alasan “bohong” wawancara beasiswa. Karena, aku tidak merugikanya, bahkan paketnya pun ku kirim persis ke alamat tempat kita bekerja di Maros. Lalu, kenapa “mereka” seolah mengacungkan telunjuk padaku dan berkata “Aku salah, aku penyebab kesialan generasi-generasi setelahku”. Hidup macam apa ini, “Aku” yang menyelamatkan nama “Biologi” ketika hanya ada dua orang kandidat mawapres di tingkat fakultas 2013 silam. Dan “Hei, bayangkan jika tak ada satupun yang daftar” mau ditaruh dimana muka “kalian”.  Kalianlah yang “Jahat dan Salah”, Kalian tak bisa seenaknya “Menyalahkan” orang.

………………………………..

“Ketika generasi pertama hijrah dari Mekah ke Madinah, tak ada satupun dari mereka yang membawa emas, dan berlian. Hanyalah keyakinan Iman dalam diri dan semuanya dimulai dari awal kembali di Madinah”

 

Bisnisku gagal padahal baru kujalankan 2 bulan. Persis sepekan sebelum Ramadhan tiba, kawan bisnisku ternyata ‘menipu’ ku dan mengambil ‘semua’ keuntungan dari proses tender pembuatan taman. Tak hanya itu, salah satu kawan bisnisku yang lain ‘pergi’ mendadak, dan mengabarkan ketika ia sudah di Bogor untuk lanjut studi master. Klien “Taman Bunga” ku meminta ganti rugi sebesar 1 juta rupiah karena beberapa tanaman tak sesuai kenyataan dan mati. Dan “Kalian” mencari-cariku di berbagai sosial media. Seorang dosen memosting sebuah kata-kata dari senior ku Angkatan 2008 bahwa ‘aku kabur’. Aku sendiri tak ingin mengingat masa itu, hanya yang ku ingat saat itu kawan setiaku datang menemuiku dan meminta kepadaku agar sebaiknya pergi dari Purwokerto. Bahkan, dengan nada menggebu-gebu, ia memohon padaku agar tak melanjutkan studi master di Unsoed, berbahaya. Senior-senior lintas Angkatan mulai me-mention namaku di beranda Facebook Keluarga Besar Kampus bahkan seorang senior di laboratorium mikrobiologi ‘lebih gila’ mention namaku dengan sebuah kalimat ‘harus gentle menghadapinya jangan kabur’. Hidupku menjadi gila, pulang ke Cirebon menjadikanku buah ejekan. Akupun ditipu tes TOEFL tak resmi. Aku telah kirimkan surat resign ku beberapa hari sebelum posting dari salah satu dosen dengan desakan dari salah satu senior Angkatan 2008 ku dikebun raya dan juga peneliti utamaku. Prosesnya memang lama, ada rapat pengesahan, dan sebagainya. Tak bisa sehari jadi, dan aku keluar. Tak semudah itu. Uang tabunganku tak banyak, aku ‘menjadi sedikit sinting’ menjelang Ramadhan. Ramadhan yang sungguh ironis bagiku, padahal setahun lalu aku menantikan Ramadhan begitu syahdunya di setiap malam dengan tadarus dan mengikuti kajian-kajian.

………………………………..

“Dimanakah jalan keluar itu?,maka Allah dengan bisik lembutnya dalam Qur’an ‘Berdo’alah padaku niscaya ku kabulkan permohonanmu’. Indah bukan?”.

 

Ketika menulis ini, aku hanya ingin setiap segmen bercerita apa adanya, polos, dan tak perlu metafora berlebih. Aku pun semakin ‘gila’ dengan ide nekatku pergi ke ‘Bandungan’, Semarang dengan dalih kepada orang tuaku ada tawaran pekerjaan disana di perkebunan Krisan, sesuai dengan skripsiku dahulu. Padahal tak ada satupun orang yang ku kenal saat itu disana, aku hanya tahu nama daerah itu berdasarkan artikel sepintas di koran elektronik. Seharian ku mencari ‘Bandungan’, dan gilanya lagi saat itu entah mengapa ku mencari seorang bernama ‘Wahyudi’ yang terkenal sebagai petani Krisan sukses disana dan ingin ‘kerja’ padanya berpura-pura jadi mahasiswa magang. Namun, aku ingin ia membayarku setidaknya 500 ribu sebulan dan dengan gratis akomodasi ditempat tinggalnya beserta makanan. Tentu saja hal gila ini ditolak, namun penolakan itu diucapkan oleh ‘adik’ Wahyudi esok harinya sembari mengantarku pulang menuju terminal Bandungan. Aku mengingat kembali ‘Simpang Lima’ Semarang teringat kenangan 2014 silam beberapa bulan sebelum lulus. Aku menjadi salah satu peserta Olimpiade Nasional Biologi tingkat Universitas di provinsi mewakili fakultas. Kini, aku hanyalah ‘pengangguran’ bergelar ‘buronan’ kampus disini. Luntang-lantung, jalan kesana-kemari tak jelas arah hanya karena ingin menunggu kereta tiba yang padahal jadwalnya masih 5 jam lagi. Bahkan ku sempat tertidur di masjid agung semarang. Ah, rasanya ada tempat yang nyaman dan aman dalam dunia ini. Tapi, aku ingin tempat itu bernama Purwokerto.

…………………………………..

“Cintailah orang sewajarnya bisa jadi ia menjadi musuhmu suatu hari nanti, namun cintailah Ia (Allah) yang memberi kasih sayang pada setiap orang dan memutar balikkan hati manusia”

 

Sungguh rasanya, bumi ini hanya bagaikan pulau kecil bernama Purwokerto dengan pusatnya bernama Unsoed, dan Gedung intinya ialah fakultas Biologi bagiku. Aku bagaikan kehilangan kesadaranku saat tahu bahwa apa yang ku harap untuk menjadi pelengkap puzzle hidupku ternyata justru saat itu menyerangku dan ‘mengabaikan’ apa yang kuberi. Memang Allah-lah Maha Benar ‘berharap’ pada makhluk hanya melahirkan kekecewaan. Aku pun tak bisa sembarang melangkah, karena kini setiap ‘mata’ seolah merujuk pada diri dan ‘mencari’ ku. Tambak, ya itulah nama kecamatan tempat nenek ku tinggal dan beserta seluruh keluarga besar dari jalur ibuku hidup. Disana nenek berjualan sate bebek (bebek dan entog) beserta karyawan-karyawanya. Akhirnya, ku putuskan menuju kesana. Meski sebelumnya aku selalu menolak untuk pulang ke Tambak, karena ‘malas’ padahal disanalah tempat yang menjadi turning point bagiku akhirnya.

…………………………………….

“Umar r.a. pernah membunuh anak perempuanya dan Allah mengampuninya, kamu tidak membunuh siapapun, dan Allah masih membuka ampunan-Nya. Bersyukur”

 

Ku jelaskan detail kejadian yang menimpaku pada bibi, paman, dan nenekku. Supaya mereka mau membelaku dari amukan orang tuaku. Akhirnya nenekku pun membelaku, bahkan akupun mesti membela diriku sendiri bukan karena kesalahanku. Melainkan, alasan konyol orang tuaku yang membandingkan Tindakan resign kerja ku dengan tindakan asusila (baca hamil di luar nikah) saudaraku dengan alasan saudaraku bekerja dan masih punya penghasilan. Ah, sungguh gila hidup ini, ketika penghasilan, kerja, gaji, uang dibandingkan dengan perbuatan baik non-profit. Namun, dibalik itu ternyata tetangga-tetangga di Tambak terlebih orang kaya disana seakan ‘memojokanku’ persis seperti yang dilakukan ‘tetanggaku’ di Cirebon sana. Akupun akhirnya memutuskan untuk ‘bekerja’ apapun itu ‘paruh waktu’ lah atau ‘serabutan’ atau apapun Namanya itu pada nenekku. Setiap pekan ia mengupahiku 50-100 ribu dengan libur di hari Jum’at. Terkadang karena Tambak masih satu kabupaten dengan Purwokerto, kadang masih ku lihat wajah dosen-dosen kampusku dan bahkan ayah dari ‘kawanku di kebun raya’. Alhasil, setiap sholat Jum’at aku berpindah-pindah masjid. Mungkin inilah tipe paranoid berlebih yang kurasakan saat itu. Suatu saat di pengajian pekanan, guru mengajiku bilang “Tidak akan mati seseorang sebelum rezekinya Allah cukupkan semuanya”. Akupun berdo’a pada Allah bahwa “Aku tak tahu kapan matikua, tapi aku yakin Allah, Engkaulah satu-satunya pemberi rezekiku, mohon jangan wafatkan aku dalam keadaan bingung dan ketakutan pada makhluk seperti ini”.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kombinasi Peluang

ASTER (I'M LIVING IN SCHOOL' MEMORIES INSIDE MY BODY-Part 1)

We Are a Superstar, and You?