KKN
Seandainya waktuku di desa ini habis, apa yang akan
kulakukan. Pernah suatu hari di waktu mentari melirik dibalik awan, ku
bermimpi. Mimpi yang menjadi kenyataan bagi setiap mahasiswa. Pakaian hitam,
dengan topi toga di kepala ku kenakan dalam mimpi itu, semua orang menyambutku
dengan senang, mengucapkan selamat, dan barisan wisudawan pun terjejer rapi di
depan bagian pendidikan menuju ruang kuliah 4. Kulihat temanku, Titi mulyawati
berlari ingin memelukku mengucapkan selamat dan semangat dan menanti di depan
ruang kuliah 4. Kulihat pula seorang akhwat temanku, Annisa Fajar Utami yang
begitu detail mempersiapkan segala pernak-pernik di ruang 4, keluar dari
ruangan dan mengucapkan selamat bagiku. Hari itu pagi begitu sejuk dan ruangan
penuh sesak, oleh wisudawan dan kunjungan baik dari dosen maupun orang tua
ataupun teman sejawat. Rasanya begitu indah dan nyata, dimana kenyataan hari
esok ialah mimpi hari ini. Sebuah kata motivasi yang selalu terucap saat
pertemuan halaqoh pekanan. Namun, mimpi tetaplah mimpi dan menguap ke udara
layaknya hembusan nafas. Sejenak energiku menjadi penuh dan euforia kemenangan
menyemangatiku di hari – hari KKN. Sejenak pula aku merenung, di hari minggu
tersebut, lalu bagaimana dengan semua kenangan di kampus, dengan dakwah ilmy yang
telah dibangun bersama ikhwah lainnya, teman-teman yang ku kenal dan tempat –
tempat yang dikunjungi. Sebuah perasaan sedih menyelinap masuk ke dalam hati,
rasa rindu begitu berat melanda, membuat air mata tak tertahan. Memang, sebuah
target harus dibarengi dengan rentetan waktu dan waktu itu kian mencapai titik
nadir. Rindu pada keluarga, rindu pada persahabatan, dan rindu pada semua
kenangan yang tak mungkin kembali. Ku coba hubungi teman-teman KKN di posko
lainnya, bahkan ku SMS sahabatku Titi Mulyawati. Sebuah kalimat SMS yang
membuatku merasa bersalah pada semua masa laluku bahwa kenyataan yang ada di
depan kita ialah kepastian yang secara sadar kita nikmati baik buruknya dan
toh, pada akhirnya kenyataan itu ialah rentetan kenangan yang tak terlupakan.
Sebuah majas hiperbola yang menyentuh hati. Bahwa lulus ialah perpaduan antara
kesenangan dan kesedihan. Kesenangan yang harusnya dan layak disyukuri, karena
ditempuh dengan perjuangan tapi, dibalik itu ada kesedihan yang patut untuk
dikenang bukan untuk diratapi. Ku masih punya mimpi, dan energi seberapa jauh
selama 6 bulan ke depan semuanya tersalurkan dan seberapa optimal hanya aku
yang dapat menentukan dan tentunya berkat bantuan Allah. Sejauh mata memandang
hari demi hari yang ku lewati berisi kerinduan yang membekas, tak terperi yang
tak ingin ku ungkapkan meski ku ingin pulang segera dari tempat ini. Ku coba
menghibur diri dan berlari menuju warga-warga yang ku rasa masih membutuhkan
bantuan dari teman-teman KKN. Obat pelipur rindu yang ku namakan dengan
silaturahmi. Bahkan aku merasa, seakan semuanya ialah keluargaku terlepas dari
semua kepentingan politik yang mereka miliki aku tak peduli yang penting mereka
mau menerimaku dan entah aku ingin mendengarkan suara mereka ataupun warga yang
ingin mendengarkanku tak ada bedanya. Hanya benar adanya ketika silaturahmi
merupakan obat memperpanjang usia, karena aku ingin seperti Abbas As-Sisi yang
mengenal begitu banyak orang dan objek dakwah. Ku merasa tenang bersama mereka
seakan inilah proses membunuh waktu yang paling efektif, ditemani dengan
suguhan teh manis, air putih, ataupun kopi atau bahkan tidak diberi apapun asal
kan terucap celotehan akan membuat hati ini terobati dan terbasahi dengan obat
penenang mengobati rindu. Waktu itu mulai memendek semua kenangan akan mulai
dibungkus, senyum, tangis, marah, egois, dan segala pernak-pernik akan menjadi
pewarna yang begitu komplit. Ada sebuah beda yang terbentuk saat kubungkus
kenangan selama KKN. Entah, karena ku merasa berbeda dibandingkan temanku yang lain
atau mungkin cara pandangku yang berbeda dengan yang lain. Suatu saat ku merasa
seperti orang lain di tengah-tengah temanku, tapi suatu episode aku merasa
menjadi bagian yang merasa betul kisah perjuangan mereka. Ku ingin biarkan
cerita-cerita mereka menghiasi malam-malam dan waktu luangku, tentang bagaimana
menghadapi sistem akademik di tiap fakultas, tentang organisasi, tentang adat
istiadat, tentang kehidupan, tentang hal lainnya yang tak pernah aku dapatkan.
Sebuah rahasia besar tentang kejeniusan orang, bahwa orang pintar menurut Edvan
temanku ialah sebuah hasil metemorfosis bukan sebuah ciptaan real yang tanpa
proses. Bahkan, jika ku tarik satu garis pemikiran layaknya sebuah kekerabatan
evolusioner, maka tingkat kekerabatanku hampir mirip dengannya pola pikirnya
cara berpolitik, cara mengungkapkan keinginan, sebuah komitmen, mungkin
perbedaanya hanya pada sudut pandang sosial dan tingkat kemalasan. Memperbanyak
waktu bertukar pikiran dengannya meski, celetukannya dapat membuat orang yang
tak tahan mental bisa membuat otak panas. Dibalik itu semua, ku sadar dia figur
kunci kedua yang mau tak mau harus ku kawal dan sering ku dekati. Pewarna yang
selanjutnya ialah pewarna yang mudah condong dan berubah-rubah layaknya bunglon
tapi, dia masih memiliki warna asli yang sedikit banyaknya akan muncul saat
waktu maghrib dan isya, ialah wildan. Sosok tubuh kekar seorang atlet pencak
silat yang tapi, mengalami hal serupa denganku yakni tingkat kegalauan yang
membuncah tak karuan dapat mematahkan semangat sang atlet. Paradigma berbicara,
yang ingin didengarkan memaksaku untuk lebih banyak mendengarkannya sambil
melihat peragaan tubuhnya yang seperti artis merangkap atlet. Ku akui, dia
orang yang paling awal ku pengaruhi untuk mampu menangkap keinginanku, diantaranya
tak ingin berboncengan dengan bukan mahrom. Meski, kadang merasa gerah dengan
tingkah lakuku tapi, sebuah kepercayaan ialah bukti. Pewarna yang selanjutnya
begitu membuatku kesal, meski masukannya terbukti lumayan hanya tingkah laku
diamnya yang membuatku merasa was was. Warna ini melekat pada diri Januar,
seorang sundanese yang terkadang membuatku kesal dengan pola tidurnya. Figur
jen (sapaan akrab) memang kadang menentukan, karena garis kekerabatannya
terpaut dengan Edvan sehingga jika keduanya atau salah satunya bisa
dipengaruhi, maka selanjutnya bisa menjadi hal yang mudah. Hal positif darinya
dan keberadaanya ialah keseringannya berbicara dengan bahasa sunda yang sudah
lama ku tinggalkan. Tak jarang ini membuatku mengingat teman – teman SD ku. Ku
ambil kuas dan mulai kulukis kembali kisah KKN ini dengan warna selanjutnya,
dialah Cahyo. Namanya hampir mirip dengan nama anak dari induk semang, meski
kelakuannya agak aneh dan mirip dengan frankestein. Diantara warna – warna
selanjutnya yang membuat posko KKN ku bak pelangi kebanyakan warna ialah teman
– teman perempuan. Namun, seandainya pijar warna putih tak berpendar menjadi
pelangipun sebenarnya, karakter warna kelima perempuan ini tak ada bedanya
rajin meski malas, persepsi aneh yang penting datang daripada tidak sama sekali
telat pun tidak apa – apa. Mungkin, hanya ada 2 warna yang pendarnya beda
dengan 3 warna lainnya ialah Zita dan Heny. Didikan disiplin ala fakultas
Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan, membuat komitmen mereka tinggi meski,
kadang 3 orang lainnya tak berkontribusi secara maksimal. Selanjutnya ialah 3
orang berwatak sama seandainya dibuat garis aura dengan paduan warna yang
menggambarkannya percayalah, hanya segaris putih yang sedikit berpendar. Mencari
uang ialah juaranya, zona nyaman ialah keinginannya, seadanya yang penting
terlaksana ialah tujuannya. Terkadang sangat sulit untuk membuat mereka
melangkah 1000 langkah dari kamar, namun diakui posko kami mendapatkan 5
sponsorship dari pihak lain untuk program KKN. Mereka ialah firda, izi, dan
fita 3 wanita yang menurutku mempunyai potensi, tapi belum teroptimalkan.
..................................................
H-13, hujan di waktu pagi mengiringi semua langkah
tim KKN POSDAYA Wanogara Wetan. Tepat jam 7, ku coba panaskan motor menuju
jalanan PPIP untuk persiapan kerja bakti warga, dan di lain dunia telah ku
siapkan personil lainnya untuk acara English fun di SD N1 dan SD N2 Wanogara
Wetan. Awal yang berat dengan jumlah personil yang hanya beranggotakan 6 orang.
It’s Real...jumlah peserta kerja bakti di luar pikiranku dan wildan yang
berangkat, sambutan hangat bak prajurit perang yang akan berangkat ke tanah
Palestina dilakukan oleh pa Joko Sumbodo. Pelangi desa wanogara wetan mulai
terlihat, ribuan karakter turun ke jalanan di tengah sawah menggunakan pacul
dan ibu – ibu membawa ember. Tak peduli siapapun, entah itu istri pa kades, pa
sekdes, pa kaur, bahkan bu kaur, guru SD, pa kadus, semuanya berbaur menjadi
sebuah harmonisasi yang indah. Hal yang membuat kami senang dengan realita ini,
jauh berbeda saat kami yang mengundang, tapi apapun yang terjadi hari ini
rasanya aku ingin meneteskan air mata untuk sebuah kerinduan yang tak tertahan.
Seorang ibu muda, yang membantuku dan menyemangatiku pagi ini membuat air mata
ini ingin menetes dan melihat semua warga desa ini. Wildan, dengan wajah
melamun menunggu giliran mengangkut ember berisikan campuran semen, maklum saja
kami berdua tidak membawa bekal apapun kecuali topi POSDAYA. Acara berlangsung
dengan penuh semangat, diawasi langsung oleh pa kades dan ku lihat sesosok anak
kecil yang biasa mengganggu di posko kami, ialah Bima. Tawa riangnya menuju aku
dan wildan, dengan langkah kecilnya memanggil KKN, seperti anak kecil lainnya.
Hufft...bukannya tidak mau bermain, tapi entah karena hari itu kami berdua
sudah terlalu lelah memperbaiki jalan sehinngga membiarkannya bermain sendiri.
Beberapa menit kemudian, Bima di luar kendali menuju sebuah sungai saluran
irigasi dan tak ada yang melihatnya, untung seorang petani datang menghampiri
dan menggendong tubuh kecilnya. Hal ini sontak, membuat para peserta kerja
bakti kaget dan berlari menuju ke sungai.
...........................................................
English fun sebuah acara reality show dari teman –
teman KKN Posdaya Wanogara Wetan digawangi oleh Dwi Cahyo. Lain tempat, lain
situasi itulah kenangan suatu surat dari masa lalu yang hadir di waktu
bersamaan, namun terletak di tempat berbeda. Jam 7.52, sebelum tim english fun
berangkat, Januar yang sempat tertinggal karena bermasalah dengan motornya
mengirim pesan. “Sal, gimana english fun?, sekarang lagi menuju ke TKP”,
nampaknya terburu-buru. Sasaran kami untuk english fun kali ini berbeda dengan
tahun kemarin, jika tahun kemarin hanya menyertakan SD N 1 Wanogara Wetan, kali
ini kami mengajak pula SD N 2 Wanogara Wetan alias SD Laskar Pelangi. Cahyo
sebagai punggawa tim KKN yang bersangkutan dengan English fun, mengatakan
pengalaman berharganya, padahal acara ini hampir saja urung terlaksana bukan
karena ketidaksiapan dari mentornya, tapi karena ketidaksiapan dari hadiahnya.
Firda, sang pengacau hampir merusak pagi ini, awan mendung hujan sejak pagi
buta, menyambut keberangkatan Cahyo cs. Cahyo cs yang beranggotakan Januar,
Luthfita, Heny, dan Zhita untung memiliki 1000 kreativitas yang tinggi untuk
merealisasikan acara ini. Keluarlah sedikit kocek untuk sekedar membeli jajanan
pasar sebagai kompensasi ketiadaan hadiah. Ruang depan bumi pa khayat, ialah
ruang kesenangan kami untuk bertukar pikiran dan pengalaman, hingga akhirnya
dengan logat sunda halus khas daerah pasundan Cahyo dan Jen mengungkapkan
ceritanya. SD 1 memang memiliki keunggulan dalam menjawab berbagai kosakata,
namun sayang karena tingkat keaktifan siswanya melebihi semangatnya sehingga
terkesan hiper aktif dan sulit dikendalikan. SD 2 alias SD Laskar pelangi
memiliki tingkat kepemahaman yang kurang, namun anak-anaknya tidak terlalu
sulit diatur. Bahkan menurut Cahyo sendiri, butuh waktu hampir 1 jam lebih
untuk menstimulus murid dari SD 2. Sambil tertawa, mereka membuka file demi
file foto hasil jepretan Zhita. Acara diskusi dan santai bareng pun berakhir
dengan sebuah canda dan tawa serta hasil evaluasi yang sedikit banyaknya akan
terekam dalam laporan pertanggung jawaban.
............................................
Adzan Dzuhur pun berkumandang dan sambil
melangkahkan kaki ke masjid, aku dan jen menyempatkan diri dahulu ke warung
untuk membeli kopi. Kopi yang memiliki nama ilmiah Coffea robusta ataupun Coffea
arabica memiliki ruang tersendiri di hati pecinta kopi. Maklum saja, para
lelaki di poskoku memiliki tingkat menikmati kopi yang tinggi, mungkin jika
diberi peringkat Cahyo, dan Januar berada di urutan ke 1. Kau bisa bayangkan,
mereka berdua bisa menghabiskan sekitar 5 – 6 gelas kopi dalam sehari.
Untungnya kebiasaan tersebut hanya berlangsung selama 1 pekan awal di posko,
namun semakin kesini menuju hari – hari terakhir mereka nampaknya mengurangi
asupan caffein dalam tubuhnya menjadi 3 gelas sehari. Faisal di urutan ke- 2, disusul
Wildan di urutan ke- 3, dan Edvan di urutan terakhir. 3 manusia terakhir yang
ku sebut, memiliki karakteristik yang cukup aneh sebagai penikmat kopi. Faisal,
memang mulai menikmati secangkir kopi sejak SMA namun, kebiasaanya sempat
terhenti dan terganti dengan menikmati susu hangat. Pertemuannya dengan teman
kostan bernama ibas, membuat kebiasaanya muncul kembali. Namun, hal yang
menarik dari Faisal ialah kebiasaan tidur cepatnya, artinya meski meminum 1-2
gelas kopi sehari, tapi tetap saja dia tetap tertidur sekitar jam 22.00 –
23.30, bahkan sebelum jam setengah 12 malam pun sudah tak kuat menahan kantuk.
Wildan, tipikal atlet yang sangat teratur menjaga pola makan, namun apa dikata
dia pun termasuk dalam jajaran penikmat kopi sejak bergabung dalam poskoku. Hal
ini diawali dengan mencoba menyeruput kopi dari gelas milik orang lain, hingga
mencoba menakar sendiri kebutuhan caffeinnya dalam secangkir gelas kopi.
Terakhir, bahkan dia menjadi penikmat kopi hitam yang memiliki tipikal sama
denganku, dan pa Mukhayat. Unique’s thing
dari Wildan ialah sebelum dia meracik kopi dia selalu meencoba menyeruput kopi
milik temannya sendiri, lalu menanyakan takarannya dan membuatnya. Trial and Error, mewarnai perjalanan
racikan kopinya sehingga dalam beberapa pekan awal jangan harap orang di posko
mau dibuatkan kopi olehnya, karena pilihannya hanya ada 3 kalau tidak terlalu
manis, terlalu hambar, bahkan terlalu pahit. Edvan Saputra, orang Palembang
yang memiliki kebiasaan kopi yang tidak teratur, karena sebagai perokok dia pun
orang yang mood untuk menyeruput kopi
tidak tiap hari. Cuplikan klip perjalanan KKN kami, dia pernah membawa kopi
khas Palembang yang memang hanya diproduksi di Palembang. Meskipun tidak
memiliki kebiasaan menyeruput kopi setiap hari, tapi endurence alias daya tahan tubuh dalam seharinya bahkan, melebihi
Faisal dan Wildan karena, bekalnya hanya tidur malam di atas jam 12 dan
dilanjut tidur pagi setelah shubuh, bahkan ditambah jam tidur lainnya yang
pasti ada di tiap harinya entah itu siang ataupun sore hari. Begitulah para
lelaki di posko kami, tak ada yang tak menikmati secangkir kopi.
................................................
Hoream (Bahasa
Sunda) merupakan sebuah kosa kata yang menandakan kebosanan atau dalam
bahasa lain kejumudan akan sebuah rutinitas. Rasanya ingin pergi dari kenyataan
dan beralih ke dunia dengan kenyataan yang lain. Hal ini sebenarnya dirasakan
oleh setiap mahasiswa KKN di poskoku. Virus ini akan begitu mudah menjalar dan
merasuk ke setiap sela pikiran saat agenda kosong. Sabtu akhir pekan terlihat
begitu cerah setelah acara sosialisasi gemar menabung, lomba mewarnai, PHBS TK
– KB PAUD, dan makan bersama. Setelah solat Dzuhur dilaksanakan masih tersisa
waktu yang cukup luang untuk merebahkan badan. Cuaca yang panas, tak disangka
menjangkiti Desa Wanogara Wetan, perlahan ku buka pakaian untuk
mengistirahatkan badan. Kasur di posko yang cukup kecil hanya muat untuk 5
orang saat itu berisi 3 orang yang tidur yakni Wildan, Cahyo, dan Faisal.
Sekitar jam 15.00, Cahyo terbangun dan diikuti olehku yang kemudian langsung mengambil
air wudhu, hal ini kulakukan karena di masjid dekat posko kami terkadang tidak
dikumandangkan adzan Ashar. Lama menunggun kumandang adzan, Cahyo memulai
celotehan kecil di sore hari, terkait keinginannya untuk pulang ke Purwokerto
terutama menjelang penarikan tim KKN se-Unsoed tanggal 20 Februari. Beberapa
opsi dikeluarkan antara aku dan Cahyo untuk hari dan tanggal kepulangan dengan
berbagai pertimbangan seperti untuk mempercepat waktu, membunuh waktu luang,
menyicil barang bawaan sebelum pulang, hingga sebuah kosa kata terlempar dari
Cahyo “Hoream” . Memang tak bisa dipungkiri apapun alasannya akan
bertemu pada satu titik di saat kaki menginjak tanah Purwokerto yakni malas
untuk kembali Purbalingga. Sebagai seorang Kormades, ku bahkan sering mengalah
untuk waktu kepulangan meski begitu beratnya rindu mengikis hati untuk bertemu
tanaman peliharaan. Walaupun begitu, tetap ada peraturan untuk lamanya hari
selama di Purwokerto yakni maksimal 5 hari. Selain itu, tidak boleh pulang ke
Purwokerto selama lebih dari 1x dalam selang 1 minggu untuk volume kepulangan.
Izi, Firda, dan Fita merupakan spesies yang sering ingin kembali ke niche lamanya di Purwokerto, hampir di
setiap minggu mereka melakukan ritual pulang ke Purwokerto. Hari ini pun seudah
masuk ke H-10, sebelum kepulangan
Komentar
Posting Komentar