Karena Matematika kita berpisah
Karena
Matematika kita berpisah
Cerita
bermula 6 tahun yang lalu saat aku, Ryan, dan Idho masuk ke sebuah sekolah
negeri bernama SMP Negeri 1 Ciledug. Pintu gerbang bertuliskan “Selamat Datang
di SMP N1 Ciledug” menyambut awal kisah kami. Aku masuk ke SMP ini melalui
jalur non-tes sama halnya dengan Ryan, awal kulihat pengumuman penerimaan masuk
SMP kulihat namaku berada di urutan ke-2 dan ternyata urutan ke-1 ialah seorang
laki-laki keturunan Semarang, anak seorang Tentara (anak kolong) yang selama 3
tahun kedepan menjadikan motivasi bagiku sialah Mukhamad Ryan. Hari itu mulai
dibuka pendaftaran ulang aku ditemani oleh ayahku tapi, bukan pendaftaran yang
ku pentingkan namun, seorang yang bernama “Mukhamad Ryan” tadi yang kucari dari
sekitar 25 orang yang masuk jalur non-tes saat itu tak satupun kutemukan dia.
“Seperti apa dia?” gumamku dalam hati, haripun kian berlalu tanpa sebuah hasil
hingga akhirnya, saat aku mulai masuk sekolah kutemukan orang itu.
Aku
mengenalnya memang sejak SMP terlebih saat kutahu dia teman baik Ryan sejak SD
namun, kedekatanku dengannya baru saat SMA karena, secara kebetulan kami berada
di SMA yang sama dan berbeda dengan Ryan. Badanya yang gemuk tak menjadikan
hambatan baginya justru dia mampu menunjukkan kelebihannya dengan catatan
emasnya dalam lomba Sejarah tingkat kabupaten dialah Idho Mardhotillah.
Angannya yang tinggi untuk menembus tembok tinggi SMA N2 Cirebon dan SMA N4
Cirebon sayang, terhalang oleh angka 26,33. Realistis tapi, optimis harapan itu
bisa dimulai dari pinggiran kota menjadikannya tergabung dalam keluarga besar
SMA N1 Lemahabang. Jauhnya jarak yang kami tempuh menuju sekolah ini, sama
halnya dengan jauhnya jarak kami dengan mimpi kami yang mulai kami rintis dalam
perjalanan bus dan elf.
Sejak
SD aku mulai menyukai gerakan Kepramuka-an, bagitupun saat aku masuk kedalam
SMP. Hal tak kuduga akhirnya datang, Ryan salah satu siswa terbaik SMP masuk
pula kedalamnya. Ryan, seorang misterius yang selalu kunanti kecerdasanya
karena, saat itu bagiku dialah parameter untuk menyesuaikan kemampuanku
dengannya meskipun, akhirnya dia tetap yang terbaik. Sekilas pertemuan awal
yang mampu memikat dan mamancing deru otakku untuk selalu berkecepatan tinggi.
Senyum ikhlas, tawa riang, dan humor yang menghibur menjadi ciri khasnya kalau
kupikir lalu dimana, kecerdasan yang dia sembunyikan. Itulah pertanyaan yang
menyelimuti hatiku saat tahun pertamaku. He
is Center of Movement.
Nilai
demi nilai menumpuk disetiap lembar kertas selama tahun pertama, lomba
FANTASIpun aku menangkan telak bersama timku kelas B. Hal yang membuatku heran
ternyata, kelas A yang notabene-nya dihuni oleh orang yang kunanti kecerdasanya
ternyata, tidak meyertakan namanya dalam tim. Ribuan pujian menghampiriku,
beragam hadiah kudapatkan tapi, ada apa dengannya (Ryan). Hampir satu tahun aku
bersamanya dalam Pramuka dan bersama 9 orang lainnya aku menempuh jenjangan
kekeluargaan yang tak terlupakan. He is
Move, akhirnya dia bergerak aku tahu inilah saatnya aku bersaing 2 motor
utama kelas A dan B bertemu. Dia selalu bisa memancingku untuk sejauh mana ku
mampu berlari dan sekuat apa kau mampu menghela nafas ditengah putaran cepat.
Pertemuan
ku dengannya sebenarnya sudah bermula saat hari demi hari menjelang Ujian Akhir
Nasional (UAN). Saat itu tiap orang
mewakili setiap kelas dipilih untuk diajar secara intensif dalam sebuah
kelompok belajar khusus Matematika. Maklum, saat tahun kami ujian (2007) format
UAN masih Matematika, B. Indonesia, B. Inggris, kami tergabung dalam kelas “Matematika
Atas” yang dihuni oleh siswa-siswa berisikan rumus dalam tiap tulisannya. Sama
halnya dengan Ryan, Idho yang ku kenal ialah orang yang selalu ingin tahu dan
menurutku ketika orang lain mencoba menjejalkan rumus kedalam pikirannya hanya
bebrapa orang saja yang meng-analisis rumus itu dan melakukan eksperimen dengan
rumus itu seakan tidak puas dengan LKS dan Idho-lah salah satu orang tersebut.
Semakin
ku kenal dengan 2 sahabat baikku ini ternyata ku tahu ada 1 kata yang
menyatukan kita dalam sebuah ruang lingkup dan satu atap. Inilah Matematika,
momok bagi banyak orang namun, sungai yang mengalir tenang dengan hembusan
angin sepoy-sepoy bagi kami. Alunan rumus yang tertulis dalam goresan kapur dan
nada syahdu guru-guru Matematika mengisi lembar harian kami di hari-hari
selanjutnya bahkan, saat aku berpisah dengan Ryan. (Hah), aku ditempatkan dalam
sebuah grup bersama Ryan saat kami masuk dalam tim inti SMP N1 Ciledug untuk
sebuah lomba akbar dan adu gengsi tiap SMP se-Cirebon. Aku tahu, kepiawaian-nya
dalam matematika tak ayal juara-1 pun dia rebut dalam lomba di SMA N1 Babakan
tapi, apakah aku bisa menyejajarkan diri dengannya. Terhenti sudah semua
raguku, kami berhasil lolos ke babak selanjutnya dengan menglahkan SMP N3
Cirebon, inilah kecerdasan seorang Pratama (pemimpin, dalam gerakan pramuka
saat menjadi penggalang). Namun, sayang di babak selanjutnya kami, harus
mengakui kehebatan SMP BPK Penabur yang sejatinya kami, hanya berbeda 150
point, kulihat senyum tegar dalam raut wajahnya dan berbeda dengan sikap
temperamen ku padanya saat aku kalah dalam lomba cerdas cermat melawan
kelasnya.
Rembulan
bersinar terang dan selalu tiap malam pelantikan yang aku lalui dibumbui oleh
tawa dan canda dari Ryan. Laju kariernya mulus dan tak ayal dia pun menjadi
seorang pratama atau ketua dalam regu penggalang. Orang yang selalu mengajakku
waspada dan bersiap siaga untuk berlari ini sungguh sangat cerdas. Aneh bin
ajaib saat teman-temanku yang lain sibuk membaca, menghafalkan, atau bahkan
menyendiri dengan matematikanya justru, dialah yang mengajariku bagaimana
metode keseimbangan antara perpaduan otak kanan dan kiri yang sungguh luar
biasa. Tertawa, dan agak nyeleneh hal
yang justru aneh bagi seorang yang notabene-nya
cerdas dalam matematika yang biasanya fokus, dengan kacamata besar, membawa
buku besar dipangkuan dadanya, dia justru sebaliknya.
Lomba
cerdas cermat, pekan Matematika, dan lomba lainnya yang aku dan Ryan ikuti
sungguh memberiku banyak pelajaran. Aku selalu memikirkan bagaimana aku bisa
ungguli kawanku yang satu ini di segala bidang tapi, justru dialah yang
menasehatiku kita tak bisa berada di satu waktu yang sama dengan semua
kemampuan yang kita miliki. Tapi, akupun kadang membatasi diriku saat aku mulai
terbawa arus dari temanku ini. Aku masih ingat betul bagaimana aku terkurung
dalam sebuah ruangan sempit dengannya dan kami terkunci disitu ya, di ruang
Satpam. Aku sadar saat itu tak ada guna aku berdiam diri dan terus menerus
menyimpan iri padanya karena, justru akulah yang memang banyak belajar darinya.
Akhirnya, kami untuk pertama kalinya secara personal bekerja sama agar bisa
keluar dari ruangan ini, aku yang keluar lebih dulu karena akulah yang bertubuh
kecil dan dia yang terakhir. Aku sungguh beruntung bisa kenal dan berada dalam
suatu tempat dengannya.
Saat
aku masuk ke SMA N1 Lemahabang aku pikir hanya aku yang berada di sekolah nan
jauh di pinggir kota. Ryan lebih memilih masuk SMA N1 Babakan, soal pilihannya
hingga kini aku belum tahu alasannya. Arif, Diki, Intan, Adi, dan Ros mereka
ialah orang-orang yang berada disebelahku saat aku berbaris telat untuk TM MOS,
hari selanjutnya aku disapa oleh seorang pria berawakan gendut namun, ramah
dialah Idho Mardhotillah. Awalnnya aku tak pernah mengira akan satu sekolah
dengannya baru, saat bus mulai berjalan aku tahu bahwa SMA N1 Lemahabang adalah
pilihan ke-3 dari pilihan utamanya di kota. Hatiku berdengung aku pikir aku
orang yang beruntung karena, belum mengalami kegagalan kecuali saat UAN
maksudku aku orang yang sedikit tidak sombong karena dengan NEM 26,13 aku lebih
memilih hal yang realistis dibandingkan dengan pilihan yang idealis. Jauhnya
jarak semakin memperkokoh tali ikatan persahabatanku dengan Idho. Dia pintar
secara akademis, bijaksana dalam memilih terutama untuk masa depannya, tak
ingin membuang waktu untuk hal yang tak berguna meskipun, hal ini ku tentang
karena, membuatnya tidak mengikuti kegiatan Ekskul manapun. Tapi, kian aku
bersamanya aku mafhumi pilihannya yang membuatku yakin dia ialah tipe lain
orang seperti Ryan yang selalu mengajakku berlari kencang.
Ceritaku
dengan Idho baru terkait soal Matematika saat aku dengannya masuk ke jurusan
IPA. Walaupun, aku kelas 11 IPA 4 dan Idho kelas 11 IPA 3 namun, guru
Matematika kami masih sama dari situlah, aku mulai bertukar pikiran dengannya
walaupun tak jarang kelasku dengan kelasnya menjadi patokan keberhasilan kelas
IPA lainnya. Cerita kami berlanjut ke kelas 12 dan, sungguh sayang aku belum
bisa sekelas dengannya, kali ini aku masuk kelas 12 IPA 4, sedangkan Idho masuk
kelas 12 IPA 2. Guru Matematika kami bernama bapak Slamet, beliau berperangai
lucu dan menghibur membuat matematika bagaikan deretan nada hidup yang
dimainkan dengan berbagai rumus dan dirangkai dalam sebuah soal-soal. Aku
kembali beruntung masih bersama Idho dalam kursus Matematika bersama dengannya,
sungguh hal luar biasa banyak orang mengira orang berperawakan gendut lama
dalam hal hitung-menghitung namun, pepatah itu tak mempan pada temanku yang
satu ini. Soal gradien, persamaan Linear, bahkan soal MIPA terpadu yang
sebenarnya dikhususkan untuk SNMPTN dilahap olehnya. Perjalanan pulang dengan
bus menjadi sarana kami untuk saling bertukar pikiran dan impian, tak banyak ku
lihat keluh dan kesahnya soal masa depannya melihat SMA kami hanyalah SMA
pinggiran yang masih sama dengan SMA tetangga kami SMA N1 Babakan.
Hari-hari
selanjutnya kulihat dia sebagai orang yang memanfaatkan ilmu peluang dengan
sangat hati-hati. Sebenarnya, Idho sudah lolos tes Ujian Mandiri di salah satu
PTN namun, karena melihat akreditasi jurusan yang dia pilih sangat rendah
akhirnya, dia urungkan niatan tersebut. Sosoknya tak kenal lelah dalam “Try and Error Probability” disaat yang
lain sudah menyerah dengan mimpi-mimpinya dia jajalkan kaki di Universitas
Indonesia namun, nasib belum berpihak padanya. Institut Pertanian Bogor tak
luput dari proyeknya ini namun, sungguh sayang Allah belum mengizinkannya jua.
Akhirnya, bakat yang eksellen-nya akhirnya diterima dalam sebuah Akademi Kimia
Analis (AKA) D3 tak jauh dari impiannya dahulu kuliah di kota Hujan. Ryan, yang
terpisah oleh tempat dengan aku dan Idho akhirnya, mendapatkan tempat
pilihannya juga yang sejujurnya jauh dari pikiranku awal. Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI) F.IKIP (Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan)
di Jurusan Fisika-Keguruan, akhirnya menjadi tempat berlabuh selanjutnya dan
yang membuatku salut dan berbangga hati sebagai teman ialah dia orang yang
berhasil masuk ke UPI melalui SNMPTN, jalur yang sejujurnya aku takuti dan
seperti sebuah gambling (perjudian) besar. Aku sendiri, bersyukur karena masih
ada 1 lembar terakhir formulir PPSB Universitas Jenderal Soedirman dan segala
pertolongan Allah akhirnya, aku berada ditempat ini sekarang di Fakultas
Biologi.
Sejujurnya
Ryan, dan Idho khususnya aku bangga pernah satu tim dengan kalian dalam sebuah
perlombaan dan bisa belajar bersama dari kalian terutama Matematika. Meskipun,
tak ada satupun yang akhirnya masuk kedalam jurusan Matematika ataupun menjadi
juara Matematika sekalipun. Aku sangat berterimakasih pada Allah melalui
Matematika aku, Ryan, dan Idho akhirnya bisa ditautkan hatinya oleh-Mu dan
ditunjukkan sebuah jalan yang walaupun berbeda tapi, semoga bermanfaat bagi
diri kami, dan orang lain. “Sayonara,,,semoga
kalian sukses dengan bidang yang kalian tempuh saat ini dan kapan kita bisa
bersaing bersama dalam matematika serta, melihat kelucuan kalian saat melihat
dan mengerjakan soal matematika saat kita semua sudah berada di bisang kita
masing-masing”
Komentar
Posting Komentar